#2 Tentang Oseng Kacang Panjang, Teri Balado, dan Ibu di Dapur
Kacang panjang yang saya dan bapak tanam di rooftop ternyata belum cukup tua untuk dimasak. Beberapa hari lagi baru siap panen. Namun, keinginan masak dan makan kacang panjang sudah terlanjur ada di benak. Alhasil dibelikan ibu di tukang sayur dekat rumah pagi-pagi sekali sebelum saya bangun.
Di dapur ternyata kacang panjang sudah dicuci dan dipotong ibu. Saya tinggal melanjutkan proses masak 3 Juni 2020: memotong lalu menggoreng tempe yang menurut saya kurang bagus — mudah hancur; mengiris bawang putih dan bawang merah; mengiris cabai merah. Sisanya saya siapkan pelengkap lain berupa daun salam, garam, gula, kecap manis, dan lengkuas yang digeprek.
Mula-mula oseng alias tumis dengan margarin berbagai irisan bumbu. Masukkan daun salam dan lengkuas. Oseng sampai harum. Masukkan kacang panjang dan tempe. Aduk. Tambahkan berbagai bumbu dan tuang air agar meresap. Aduk. Tunggu air sampai asat dan matang.
Lanjut masakan kedua: teri balado.
Seperti biasa, bersihkan teri dengan air. Goreng hingga kering. Sementara itu siapkan bumbu halus yang kali ini tidak saya blender. Alhasil lengan sepertinya kian besar. Bumbu halusnya ialah cabai merah keriting, cabai rawit setan, bawang merah, bawang putih, garam, gula merah, dan tomat. Semua diulek manual sampai halus. Hasilnya tentu tak sehalus blender, tapi rasanya saya lebih suka.
Tumis bumbu. Masukkan daun salam dan lengkuas. Masukkan petai dan teri. Aduk sampai matang.
Masak pagi ini agak berbeda dari berbagai proses masak lainnya. Bukan semata-mata soal menu yang diracik, tapi momen yang hadir. Ibu yang sebenarnya saya panggil di rumah dengan sebutan “mama” menemani sembari melakukan aktivitas dapur lain. Sangat jarang momen ini ada. Bahkan saya lupa kapan terakhir berdua seperti ini dengan ibu dalam waktu yang cukup lama.
Perasaan campur aduk. Ibu saya wanita karir sebagai guru. Sibuk itu pasti. Begitu pun saya saat semakin dewasa. Memilih merantau ke Jatinangor dan berkembang di sana. Belajar banyak hal sendiri, termasuk bergeliat di dapur dan urusan domestik lain. Saat kembali ke Jakarta — lebih tepatnya Depok — , tentu saya dan ibu sudah menjadi pribadi yang berbeda dalam beberapa hal. Experience dan knowledge masing-masing dari kami sudah pasti ada perkembangan. Begitu pun pandangan terhadap masing-masing dari kami.
Yang pasti, ibu saya kian menua. Begitu pula saya. Dan saya sudah sepatutnya semakin lebih paham hidup, termasuk menekan rasa ego.
Pagi ini saya memberanikan diri untuk selangkah maju dibanding biasanya dari dulu: bercerita lebih dalam. Tentang kekhawatiran saya, apa yang saya rasakan sebenarnya, dan bagaimana saya melihat kehidupan secara lebih luas akan suatu masalah yang sedang dihadapi. Saya berbagi kegusaran saya dengan cemas, takut ibu malah kepikiran.
Saya menangis.
Respon ibu memang sudah saya prediksi. Satu begini, satunya lagi begini. Semua benar-benar seperti yang sudah saya prediksi. Saya lebih lega dan berusaha menerima apa pun responnya. Setidaknya saya sudah bercerita.
“Mau dikomen?
Hmmm
Terinya pedes banget ya
Tp enak
Sayurnya ini kurang dimasak agak lamaan dikit lg
Terus kurang garem dikit
Bsk2 org rumahku gak usah masak aja ya” — Mas.