#3 Makan Rangkap dengan Tumis Taoge Tahu
Hari ini tidak masak. Alasannya aktivitas yang padat. Alasan.
Sarapan hanya teh panas hangat. Buru-buru ngacir karena Go-Car sudah menjemput. Menembus perbatasan Depok menuju tengah Jakarta dengan biaya Rp78.000.
Setengah hari saya bekerja dari kantor. Menunggu produk-produk UMKM yang kantor sudah diseleksi beberapa minggu lalu. Mengeceknya satu per satu. Memeriksa dokumen penilaian. Dan berkeluh kesan dengan rekan kantor secara langsung — akhirnya tidak lagi hanya misuh lewat WhatsApp!
Skip makan siang.
Pulang ke rumah naik Trans Jakarta, lanjut Go-Car lagi. Mandi. Saya kira bisa langsung masak dan makan sayur, ternyata masih harus video call koordinasi soal live malam.
Sebenarnya saya sudah agak was-was kalau makan kelewat telat. Pasalnya, beberapa kali saya harus bolak-balik dokter karena muasal permasalahannya telat makan. Maag saya sudah semakin akut. Lambung sudah luka. Makan seharusnya tidak boleh telat. Dokter penyakit dalam saya dulu sudah wanti-wanti jangan sampai sakit merembet ke mana-mana karena bisa fatal. Saya suka terngiang omelan dokter tua saya dulu itu. Takut, tapi tetap bandel.
“Tuh liat Mbak XX, kamu mau kayak gitu? Dirawat karena maag itu telat makan. Asam lambungnya naik,” kata ibu.
Beberapa hari lalu sepupu saya masuk rumah sakit. Riwayat penyakitnya tak jauh-jauh seperti saya. Namun, ia lebih parah. Asam lambung sudah naik ke tenggorokan. Ia terpaksa dirawat. Dan ibu seperti biasa menakut-nakuti saya soal itu.
Dihadapkan dengan banyak kenyataan buruk soal pola makan, tapi makan saya masih nggak benar-benar dikontrol. Juga masih suka telat.
Makan saya hari ini lagi-lagi rangkap. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya mau saya benahi. Semakin sadar diri soal kondisi tubuh. Kadang kita hanya bisa berencana. Tapi, kita sendiri juga yang kadang tidak disiplin merealisasikan rencana itu.
Sembari mengeringkan rambut, saya akhirnya baru bisa menyentong nasi ke piring menjelang maghrib. Lalu menambahkan tumis taoge tahu yang sudah dimasak ibu dan beberapa potong cumi goreng tepung saus asam manis yang sepertinya dibeli di dekat rumah.
Rasa tumis taoge tahunya khas bikinan ibu. Saya paling suka mengambil sisa kuah yang tak seberapa banyak itu lalu menuangkankan ke atas nasi panas. Kuah gurih hasil asatan air dan minyak itu pun meresap ke nasi.
Walau makan sore yang rangkap ini menjadi seperti sekadar formalitas yang penting makan, gurihnya tumis taoge tahu dan cumi saus asam manis masih bisa saya rasa. Meski sekilas. Fokus saya bukan makan, tapi hal-hal lain alias tidak benar-benar menikmati makan. Ada imbas baiknya, dengan lahap saya mengunyah dan menelan taoge. Sayuran yang biasanya saya agak hindari, meski tahu itu sangat baik. Langsung saja begitu saya makan bersama nasi putih dan lauk pauk lain. Tak ada keanehan berarti atau pikir panjang saat makan.
Sebuah kemajuan berarti pada hari ketiga 30 hari masak dan makan sayur: makan sayuran tanpa pikir panjang.