30 Hari Masak dan Makan Sayur
Sekitar dua bulan ini muka saya break out parah. Terparah seumur hidup. Pernah sehabis pulang dari Wakatobi agak seperti ini. Namun, ini benar-benar menyedihkan. Sudah saya stres kerjaan, terpaksa mendekam terus-terusan di rumah karena COVID-19, harus juga stres karena jerawat. Saya pun cari cara secepat mungkin agar keluar dari kondisi ini, termasuk yang berhubungan dengan sayur.
Selama WFH ini rutinitas skin care tetap saya lakukan hampir setiap hari. Seprai kasur dan sarung bantal juga rajin saya ganti. Begitupun tetek bengek kebersihan lain. Kalau lagi bercermin, rasaya mau memaki: bangsat, muka gua napa jadi gini dah! Perasaan gue nggak jorok yang gimana-gimana….
Pandemi COVID-19 dan WFH (beserta pekerjaan di dalamnya) memang benar-benar bikin saya frustasi. Mood saya naik turun menghadapi hari-hari yang gitu-gitu aja minim interaksi langsung dengan orang lain. Marah, lalu menerima, sedih, marah lagi, nerimo, dan terus begitu. Padahal di Indonesia sendiri curva belum ada tanda-tanda mengalami penurunan berarti… dan tandanya saya (juga semua orang) mau tidak mau harus terus-terusan bergelut dengan perasaan serta keadaan entah sampai entah kapan.
Efeknya, ya mungkin memang break out di wajah bisa semakin parah. Menurut seorang konsultan Dermatologis, stres memang dapat menyebabkan lonjakan atau fluktuasi pada hormon kortisol, memicu timbulnya jerawat dan memperburuk kondisi kulit lainnya. Masalah ini pun tidak hanya dihadapi saya seorang.
Tidak mau terus-terusan dalam kondisi ini, akhirnya saya cari cara bagaimana masalah kulit wajah bisa teratasi. Begitu pula menekan tingkat stres. Saya beli beberapa produk skin care baru. Dan yang menyenangkan akhirnya menemukan satu yang cocok, walau harganya bikin meringis. Saya juga kian gemar minum air putih. Sebuah hal luar biasa karena saya lebih cenderung minum rasa-rasa dibanding air putih.
“Kamu ngobatin dari luar, tapi dalemnya enggak ya gimana. Minum sana.”
Terlepas dari suruhan Mas, sebenarnya tahun ini saya memang mau lebih komit untuk perbanyak minum air putih. Begitu pula makan sayur. Dua hal yang selama ini tak begitu saya senangi. Malah terpikir untuk jadi seorang vegan.
Dan pada Juni ini, saya menantang diri saya sendiri untuk selama 30 hari masak dan makan sayur.
Kenapa sampai masak juga? Karena komitmen diri saya lainnya tahun ini ialah meningkatkan skill pekerjaan domestik yang dulu sudah saya asah sewaktu di perantauan selama beberapa tahun. Mau coba banyak bermain di dapur meski harus curi-curi waktu sambil bekerja dan melawan rasa mager mending Grab Food aja.
Masak juga bagi saya jadi semacam healing tersendiri, sama seperti berkebun di rooftop. Senang. Apalagi masak dari hasil panen kebun sendiri. Luar biasa senang, walau rasa masakan saya mungkin biasa aja. Mungkin saya memang butuh hal-hal ini agar tetap waras di tengah kondisi yang brengsek (meski kita bisa petik banyak hikmahnya).