90 Menit Tentang Makan Duren, Pelecehan Seksual, dan Susuk Mutiara

Dewi Rachmanita Syiam
5 min readMar 15, 2020

--

Assalamualaikum mba. Tempatnya sesuai kan ya?

Sekitar pukul 20 saya pesan layanan massage di suatu aplikasi saking seperti rontoknya badan saya. Toh jarang-jarang saya kayak gini. Lagi pula memang sedang tumbang. Sesekali boleh lah ya. Apalagi tak disangka dapat “plus plus” berupa obrolan menarik tentang hidup mbak terapis sebagai perempuan 24 tahun dengan satu anak dan seluk beluk pekerjaannya.

Dari awal si mbak ini memang sudah kelihatan tipikal orang yang suka ngobrol. Juga ember. Mudah dikorek-korek banyak cerita. Entah kenapa penilaian terkait modelan orang seperti ini selalu tepat. Dan benar saja, baru berapa menit kaki saya dipijat, si mbak yang tinggal nggak jauh-jauh amat dari rumah saya ini sudah cerita banyak hal.

Katanya lahiran karena duren

Mula-mula soal keluarga. Si mbak cerita dua kali keguguran dan syukur anak ketiga sekarang tumbuh sehat walau lahir prematur 8 bulan dengan berat 2.5kg. Katanya waktu lahir anaknya hanya sebesar botol air mineral. Menariknya doski cerita ke saya, anak laki-lakinya yang kini sedang mengenyam pendidikan TK itu harus lahir sebulan sebelum waktunya lantaran keinginannya makan duren.

“Kan ituan mbak depan gang rumah saya waktu dulu tinggal di Condet ada tukang duren. Ya saya kepengen mulu kan.”

Awalnya keinginan makan duren itu selalu dilarang suaminya yang menurut penuturan si mbak super sensitif dan cemburuan. Namun, akhirnya pertahanan nggak makan duren itu runtuh. Sedikit duren dicicip.

Malam sehabis makan duren semua normal. Saat pagi langsung berubah drastis. Perut si mbak yang sedang besar-besarnya itu panas hebat. Ia dibawa ke rumah sakit dan nggak lama melahirkan secara normal dengan belasan jahitan.

Gara-gara makan duren, bayinya lahir lebih dulu dan harus seminggu dapat perawatan di rumah sakit. Bayinya itu juga terpaksa pindah rumah sakit demi penanganan lebih baik.

“Mbak coba bayangin, boks yang bayi itu isinya 5 bayi. Apa nggak ketuker itu bayi.”

Selama seminggu si mbak nggak mandi. Boro-boro mandi, ia terserang varises. Bukannya istirahat habis lahiran, ia harus jaga anak di kursi seadanya rumah sakit. Kamar mandi yang beneran bisa untuk mandi pun hanya bagi yang rawat inap.

Sebenernya saya baru tahu sih duren seberpengaruh itu ke kandungan. Kalau kata si mbaknya sih karena panas, sama seperti konsumsi daging kambing.

Setelah saya baca-baca, sebenarnya konsumsi duren bagi ibu hamil nggak apa-apa karena nutrisi si buah. Namun, saat memasuki trimester ketiga memang nggak dianjurkan, terutama buat ibu yang punya diabetes dan berat badan mudah naik. Hal itu lantaran duren punya kandungan gula dan karbohidrat yang tinggi.

Selesai cerita soal pengalamannya melahirkan itu karena ngidam duren, si mbak merembet curhat sang suami. Tadi saat ia baru sampai di depan rumah saya lihat si mbak memang diantar pria yang ternyata suaminya. Berbalut jaket hijau khas ojol, sang suami memang kerja jadi driver dan suka antar istrinya ke tempat ia harus kerja jadi terapis.

“Udah saya mah anak satu aja. Susah suaminya kayak gitu.”

Saya iseng tanya memang kenapa kok bilangnya gitu. Si mbak cerita soal suaminya yang super cemburuan. Bahkan beberapa kali ia kabur ke rumah orang tua saat sedang bertengkar. Ia juga dilarang pijat laki-laki walau sudah jelas atau pijat sekalian satu keluarga. Walau katanya sih suka curi-curi demi uang ya diambil. Toh nggak macam-macam kata si mbak.

Rentan alami pelecehan seksual

Pijatan saya sudah sampai punggung. Dan obrolan pun masih terus berjalan beriringan. Kini, obrolan kian membahas hal lebih serius: pelecehan seksual.

Awal obrolan soal isu ini berangkat dari keingin tahuan saya terkait berapa biaya potongan dari perusahaan terkait jasa yang dilakoni si mbak. Lalu, makin lama makin menyasar cerita terkait pekerjaan terapis yang begitu rentan alami pelecehan seksual.

“Ya Allah, Mbak. Temen saya pernah tuh belum lama mau diperkosa di apartemen XXX (kebetulan ini dekat rumah saya). Untungnya dia lari ke kamar mandi terus teriak, ada kayak cleaning service denger gitu.”

Nggak satu dua cerita yang si mbak utarakan terkait pelecehan seksual. Semua yang ia ceritakan korbannya adalah terapis perempuan dengan pelaku adalah pria. Bukan hal aneh, terapis perempuan sering diminta atau bahkan dipaksa melakukan pijat plus-plus, mulai dari oral seks sampai berhubungan badan. Kalau menolak, acap kali mereka nggak dibayar bahkan mendapat perlakuan kasar.

Para pelaku menurut si mbak biasanya juga sudah menandai para terapis di aplikasi (ini memang bisa dilakukan di aplikasi). Biasanya si pelaku hanya mau dilayani oleh terapis yang sudah ditandai.

“Mereka biasanya udah nandain, Mbak. Pokoknya mesennya dia-dia terus. Dan tengah malem.”

Saya telisik lebih jauh soal pengamanan dari perusahaan. Apakah ada tombol darurat? Ada. Tapi, tak selamanya saat bekerja terapis pegang ponsel. Belum lagi kalau sedang terancam dan korban bergegas kabur serta meninggalkan harta benda. Apakah perusahaan akan terus usut sampai tuntas permasalahan seperti itu? Saya tak tahu pasti. Namun, berdasar cerita si mbak terkait kejadian di apartemen, pelaku hanya diminta melakukan tanda tangan surat pernyataan yang akan menanggung kesehatan fisik dan mental korban. Pelaku juga menurut si mbak sudah “ditandai” perusahaan. Entah maksudnya apa ia juga tak bisa menjelaskan secara pasti dan rinci.

Mutiara di dagu dan vagina

Usai bulu kuduk merinding diceritakan si mbak tetang banyak kisah pelecehan seksual yang dialami para pekerja perempuan itu, saya mendapat cerita lainnya soal serba serbi jadi terapis, termasuk terapis di salon atau tempat offline.

Obrolan saya dengan mbak kembali terjalin setelah saya banyak tanya soal prosedur jadi terapis startup ini. Memang seperti apa sih?

Mula-mula pendaftaran lalu jalani pelatihan yang umumnya menghabiskan waktu sekitar 2 minggu. Kalau gagal, pelatihan nggak akan selesai. Peserta nggak akan lulus dan boleh bekerja. Pelatihnya pun menurut si mbak nggak main-main. Ia memang sudah jadi terapis sampai kancah internasional dengan sederet prestasi. Sialnya saya lupa namanya siapa.

“Kita setiap hari harus mijir orang mbak sampai 7x. Sampai bener, ada standarnya. Emang diajarin dulu titik-titiknya mana aja. Jadi nggak asal.”

Menurut si mbak, yang enak sih yang jadi “kelinci” pijat. Ia dan para calon pekerja lain gempor. Belum lagi setelah lulus dan bekerja, saingan antar pekerja kian ketat. Tenaga terapi jumlahnya makin banyak dan orderan tak seramai dulu.

“Sekarang aja yang antre daftar udah ribuan itu, Mbak.”

Bagaimana dengan terapis offline yang biasa di salon dan tempat khusus lainnya? Mereka juga alami pelatihan khusus. Namun, mereka dinilai si mbak lebih “mengerikan”.

“Loh kenapa, Mbak?”

Usut punya usut, saingan antar terapis lebih sengit. Apalagi kalau di tempat mewah dan mahal yang pelanggannya kelas eksekutif. Bukan hal janggal, ada (bukan berati semua) terapis memberi layanan ekstra sampai hubungan seksual. Dan untuk memikat atau mempertahankan pelanggan, mereka sampai punya semacam nama panggung saat bekerja dan pakai susuk.

Si Mbak cerita, ia pernah antar seorang temannya ke seorang dukun perempuan. Katanya susuknya berupa mutiara yang ditanam di dagu dan vagina. Mutiara di dagu untuk membuat orang lain tunduk akan omongan dan di vagina untuk memberi kepuasan lebih saat berhubungan seksual. Biayanya untuk satu mutiara adalah Rp3jt.

Nggak cuma itu, si Mbak juga berbagi kisah bagaimana temannya itu harus menjaga pantangan susuk. Salah satunya larangan makan sate langsung dari tusuknya. Wah.. larangan ini ternyata benar ada ya…

Perihal pemakaian susuk memang cukup lumrah menurut si Mbak. Bentuknya pun beragam. Dari mulai mutiara, emas, benang, sampai jarum. Semua dilakukan untuk memikat pelanggan. Sang dukun juga nggak jarang anjurkan pelanggannya ganti nama saat di salon.

“Saya sempet tuh Mbak pas nganterin ditawarin mau pasang juga nggak. Saya mah enggak.”

Assalamualaikum warahmatullahi

Kaka disave ya nomer aqyu

Maaaaaacciiihh ya ka🙏🏻😊

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet