Adil Sejak dalam Pikiran
Tiba-tiba saat sedang perjalanan pulang dari kantor saya berpikir soal pekerjaan setelah lulus. Beberapa rencana terlintas, termasuk masuk ke Narasi yang dinaungi Najwa Shihab. Pikiran saya terus ke sana ke mari sampai soal Najwa Shihab yang tak berkerudung.
Sosok Quraish Shihab hadir dalam pikiran. Tokoh Islam di Indonesia yang begitu cerdas dan populer. Pikiran makin mengerucut soal banyak orang yang mempertanyakan Najwa tak berkerudung.
Rasanya konstruk sosial soal “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” dan anggapan lain soal orang tuanya kan itu anaknya kok gini coba mengusik. Termasuk keanehan kenapa Najwa nggak pakai kerudung padahal ayahnya dipandang Islam yang taat. Ya pertanyaan sejenis rasanya nggak asing.
Terlepas dari banyak hal di balik itu, juga saya nggak akan bahas soal kerudung dan ke-Islam-an seseorang, saya lebih tertarik tentang adil sejak dalam pikiran.
Dari kasus pemikiran soal Najwa si anak Quraish Shihab bisa jadi cerminan banyak kasus lain. Sadar nggak, kita sering melebih-lebihkan pengaruh latar belakang orang tua terhadap seorang anak? Kita bisa dengan mudah memandang seseorang hanya karena melihat siapa orang tuanya. Memang pengaruh orang tua, termasuk didikan dan lainnya sangat berperan pada seorang anak, tapi itu bukan satu-satunya kan? Nggak adil rasanya sudah nilai seseorang duluan melihat siapa orang tuanya.
Kita kayaknya senang banget mengaitkan seseorang dengan latar belakang orang tuanya. Ya nggak?
“Pantes anaknya ranking 1 ya, ibunya guru”
“Loh kok bapaknya tentara anaknya nggak gahar?”
Keputusan seseorang untuk bertindak ini atau berpikir itu atau berbicara ini itu dipengaruh banyak hal. Bukan hanya semata-mata siapa orang tuanya, apalagi si anak sudah dewasa. Ada sekolah, lingkungan pertemanan, media, dan lainnya. Pengaruh dari pengalaman dan pengetahuan.
Saya nggak bilang ya kalau orang tua nggak ada andil dalam seorang anak. Ada banget! Di diri sendiri saya belajar banyak hal, baik yang saya setujui atau kurang setujui. Tapi, dalam menjadi diri saya,membangun diri saya, dan saya saya lainnya nggak semata-mata karena itu. Saya bertemu banyak orang lain, saya pergi ke banyak tempat, saya merasakan banyak hal, dan lainnya.
Contoh, saya suka jalan-jalan. Ada faktor orang tua bergeliat dalam industri pariwisata. Namun, tanpa mencicipi hidup di perantauan saya nggak mungkin banyak pergi. Juga soal konsumsi media, pertemanan dengan banyak orang yang suka jalan, dan lainnya. Tanpa itu semua saya hanya “Si Dewi Anak Dosen Pariwisata” bukan “Si #JalanBarengDewi”.
Lalu apa intinya?
Ya semoga kita bisa adil sejak dalam pikiran. Nggak cepat-cepat menilai seseorang dari siapa orang tuanya. Juga memberi standar khusus pada seseorang dari siapa orang tuanya. Saya adalah saya. Kamu adalah kamu. Dia adalah dia. Dengan segala hal yang telah terjadi di diri masing-masing.