Finding true source of happiness.
Seorang senior sewaktu SMP menarik perhatian saya. Bukan, bukan karena parasnya yang selalu rupawan sampai saat ini, tapi soal kegusarannya yang ia tuang dalam tulisan di blog. Pun bio Instagram-nya: “finding true source of happiness.”
Kalimat itu bikin saya tertegun sesaat. Ada apa? Kayaknya ada sesuatu di balik dirinya. Ah ternyata kayaknya aku juga. Orang-orang kebanyakan makin hari aku lihat juga begitu.
Cuma, kadang kita memang terlalu malu sekaligus munafik mengakui. Juga soal rasa sepi yang lebih apik disebut “loneliness”.
Banyak teman atau bawel di medsos nggak jamin sebahagia itu aslinya. Emang seberapa dekat sih kamu sama teman-temanmu? Emang semua orang bisa dengan leluasa cerita banyak dengan sembarang orang? Bahkan, orang yang selama ini terlihat hahahihi mungkin jadi orang yang paling merasa kesepian sekaligus menyimpan pedih sendiri.
Kenapa sih harus orang spesial? Karena muak dengan banyak orang yang saat kita belum cerita panjang lebar udah disemprot “lo tuh harusnya bisa lebih bersyukur, banyak orang lebih parah dari lo, lo deketin diri sama Tuhan deh, jodoh nggak ke mana, dan lainnya.” Bangsat.
Lebih memuakkan lagi adalah saat malah jadi bahan candaan. Apalagi saat kita berusaha cerita, pun lewat cuitan medsos atau tulisan di blog seperti ini. Fak. Dikira lucu kali ya.
Nggak usah pura-pura. Semua ingin bahagia, ingin menunjukkan rasa afeksi dan sebaliknya. Tentu dengan orang-orang spesial. Bisa keluarga, sahabat, pacar. Dan semua orang punya problematika hidup sekaligus sumber kebahagiaannya masing-masing.
And yes, i’m finding true source of happiness. Thanks, Ka. Sekarang saya semakin santai bilang: “it’s okay not to be okay”.