Hitung-hitung Masa Depan di Malam Sabtu
Setahun belakangan gue emang mulai makin banyak merenung soal masa depan. Mau jadi apa gue? Berapa gaji yang gue dapat? Apa saja yang ingin gue dapat nantinya? Dan lain sebagainya.
Malam Sabtu ini gue tiba-tiba merenung kembali setelah membaca soal KPR rumah. Gue jadi menghitung berbagai kemungkinan di masa depan, termasuk gaji kalau gue memutuskan lanjut jadi jurnalis.
Kalau ditaksir, mungkin gaji gue nggak jauh-jauh dari angka 4 atau 5. Semoga jauh dikasih lebih.
Dengan gaji segitu, untuk melunasi sebuah rumah standar kemungkinan besar gue butuh waktu sekitar 15 tahun. Itu pun di luar uang DP sekitar 20% dari harga rumah. Walah uang dari mana?
Gue emang bertekad pengen banget dan harus punya aset properti. Gue sih mengutamakan rumah. Tapi beberapa orang kasih saran untuk ambil kontrakan atau apartemen.
Waktu itu gue ngobrol sama abang Gojek. Dia nyaranin untuk lebih baik ambil kontrakan. Katanya biar nanti kalau ada rezeki lebih bisa dicicil utak atik dikit-dikit. Iya juga. Tapi, mungkin nggak di Jakarta biar lebih murah, agak ke pinggir.
Sedangkan apartemen, gue emang mesti banyak biaya tambahan dengan berbagai hal terbatas. Nggak bisa berkebun, masak juga mungkin nggak bisa yang aneh-aneh, nggak bisa ribut, dll. Tapi, bisa ambil di Jakarta dengan daerah oke. Mungkin.
“Kan lu cewek, rumah urusan cowok, dll”
NO! Gue sebagai manusia mau punya tempat tinggal sendiri. Gue mau mempersiapkan diri gue di masa depan sebaik-baiknya. Gue mau mencegah berbagai hal buruk yang mungkin aja terjadi, semoga enggak. Misal perceraian yang mengharuskan gue untuk pisah rumah. Gue juga punya beberapa saudara kandung dan gue mau menghindari kalau ada konflik di masa depan soal rumah orang tua gue saat ini.
Lanjut, gue menghitung lagi soal uang-uang gue ke depan. Tahun depan adek gue masuk kuliah. Ada biaya di situ. Apalagi kalau ambil di luar kota. Apalagi juga kalau ambil jurusan Bisnis yang perlu biaya lebih dengan praktik bisnisnya.
“Kan lu punya kakak”
Yep gue emang punya kakak. Kakak gue yang masih ada dua cowok. Gue mikir gini, lazimnya di Indonesia cowok jadi sumber utama nafkah. Kakak gue yang kedua saat ini kondisinya udah berkeluarga. Kakak gue pertama mungkin segera. Jadi, uang mereka tentu akan lebih banyak dialokasikan ke keluarga mereka. Pasti mereka kasih adik gue uang, tapi gue sebagai yang belum nikah mesti siap lebih.
Gue melihat di berbagai rumah tangga banyak yang terjadi dan menyangkut biaya, bahkan nggak jarang yang dadakan. Mulai dari biaya lahiran, besarin anak yang biayanya makin muaaahaal, tiba-tiba anak sakit, dan lainnnya.
Dari situ gue mikir, oke gue sebagai orang yang belum nikah dan adik gue seyogyanya jadi tanggung jawab gue, gue harus misahin biaya yang cukup besar porsinya. Minimal untuk biaya kuliah dia tiap semester dan uang tambahan biar dia bisa amal serta sesekali traktir temannya atau beli buku bacaan.
Alhamdulillah gue masih ada kedua orang tua. Tapi, masa depan nggak ada yang tau. Kedua orang tua gue juga udah di atas 60 tahun yang mana menurut gue harusnya udah tinggal seloww selow aja menikmati usia tua. Bukan lagi mikirin biaya kuliah adik. Oke ini saatnya gantian gue yang bayarin ini itu.
Lanjut, di samping itu semua gue juga mesti siapin tentang perkembangan hidup gue sendiri. Gue sampai saat ini mau nikah. Yep biaya ga dikit. Sedikit-dikitnya tetap jutaan. Gue mungkin mau lanjut kuliah, tentu setelah adik gue lulus. Dan gue mau banget ya Allah rutin qurban kambing atau sapi setiap tahun. Bukannya gue sok religius ya atau gimana tapi seingin itu. Lalu ke tanah suci.
Oke gue belakangan juga baca soal investasi. Oke next gue bakal coba investasi. Alhamdulillah ada satu hal bernilai yang gue simpan untuk pertama kali seumur hidup bukan dari orang tua. Itu jadi pecutan buat gue lebih banyak saving and invest money.
Tandanya apa? Gue mesti cari berbagai tambahan untuk menutup itu semua. Yep sambilan ini itu.
Karena,
Gue begitu takut sama masa depan.
Gue panik. Cemas.
Bacot banget sih gue mikir gini meanwhile tingkat disiplin gue rendah soal skripsi. Tapi, gue sedari awal mungkin mau terus mengingatkan diri untuk manajemen uang dan melihat prioritas serta masa depan. Untuk “hey nanti lo bakal menghadapi ini ini ini loh”. Mengingatkan diri gue juga untuk selalu usaha doa dan bersyukur. Bersyukur terus. Bersyukur karena rezeki nggak hanya berbentuk uang, tapi teman yang baik, jalan yang nggak macet, dingin ada selimut, atau besok mesti berkutat lagi dengan skripsi saat banyak orang nggak berkesempatan kuliah.
Gue seneng jadi jurnalis. Seneng banget untuk cari tau banyak hal dan nulis. Tapi gue ngerasa nggak cocok di sistem beberapa media Indonesia. Soal idealisme, soal kesehjateraan, soal model bisnis, dll.
Gue jadi inget, nyokap kurang sreg kalau gue jadi jurnalis. Selain karena dinilai cewek seharusnya kerja macam-macam PNS yang di kantor dengan jam kerja tetap, gaji juga jadi pertimbangan. Soal gaji ini juga diiyakan bokap.
Gue pernah cerita sedikit soal teman yang kerja di suatu media yang mengharuskannya liput si pemilik media beserta keluarganya. Bahkan untuk sekelas acara ulang tahun. Gue bilang itu nggak penting dan minim nilainya dalam jurnalisme. Bokap nyokap bilang ya asal gajinya oke. Lanjut lagi, mereka bilang ya kerja soal gaji.
Gue berusaha menyangkal hal itu. Gue bilang terkait kepentingan publik dan lainnya. Lagi-lagi ya gue malah dipandang sebelah mata soal jurnalis dan gajinya.
Omongan soal kerja dan gaji juga pernah terjadi beberapa waktu lalu saat dalam obrolan masa depan adik. Kata nyokap jadi guru aja gajinya sekarang udah tinggi. Lalu jadi ini itu aja gajinya terjamin. Dan omongan soal gaji lain. Dan juga larangan serta pandangan sebelah mata soal jurnalis.
Gue hanya terdiam dan memilih masuk kamar.