Kicau Kacau 2018 (Bagian Satu)

Dewi Rachmanita Syiam
9 min readDec 30, 2018

--

Foto: STC

Tahun ini bagai roller coster. Ups and downs. Begitu dinamis. Random. Unpredictable. Salah satu tahun tersulit yang pernah saya jalani.

Pada penghujung tahun ini, saya merenung dan berefleksi banyak hal. Soal diri saya sendiri, resolusi yang kebanyakan gagal terwujud, suka duka, dan masa depan. Tidak hanya itu, tahun ini juga saya memikirkan banyak hal yang bukan tentang diri saya sendiri. Ada keluarga, sahabat, dan orang-orang lain yang memang sudah lama maupun baru saya kenal. Sudah pasti mereka menorehkan banyak cerita di hidup saya tahun ini. Banyak di antaranya yang sangat membekas dan meninggalkan luka menganga.

Dua tahun lalu saya kira jadi tahun tersulit. Lalu 2017 semakin sulit. Ternyata, saya salah. 2018 ini jadi paling kelam.

Nampaknya petuah sewaktu ospek jurusan dulu “perjalanan tidak akan pernah menjadi mudah” memang benar adanya.

Kalau dua tahun lalu kegelisahan saya berkutat dengan kehidupan kampus, lalu 2017 mulai muncul konflik-konflik tak terduga, tahun ini menjadi puncak segala hal.

Saya bisa bilang, 2018 menjadi tahun dengan berbagai luka-luka lama yang terpendam bersama luka baru meledak. Saya semeledak itu, terutama di penghujung tahun. And I have to face it alone.

Ya memang ada beberapa sahabat yang siap sedia untuk mendengar, tapi tak bisa ditampik, keseluruhan hal yang terjadi memang mesti saya hadapi dan lewati sendiri.

Mungkin selama ini orang-orang hanya tahu saya senang-senang saja menjalani berbagai aktivitas. Mulai dari #JalanBarengDewi sampai ngantor di media anak muda idaman sejak masa sekolah. Permasalahan saya mungkin cuma dinilai dari skripsi yang tak kunjung usai.

Namun, itu hanya puncak gunung es dari hidup saya pada 2018 ini.

Di tulisan Kicau Kacau 2018 Bagian Satu ini, saya akan cerita soal resolusi dan skripsi. Hal-hal lain, seperti cinta dan keluarga akan saya ceritakan di bagian dua. Saking saya muak dan penuh keluh kesahnya dengan tahun ini.

Resolusi

Bagi saya resolusi bukan suatu hal privasi. Jadi, saya akan dengan santai mengungkap resolusi 2018 yang sebenarnya sudah saya usahakan terwujud. Melihat banyak resolusi yang gagal hadir tahun ini bikin saya mikir.

Apa saya kurang ngotot dalam berikhtiar? Atau saya yang kurang bertawakal? Atau memang saya sulit untuk ikhlas dan bersyukur menerima keputusan terbaik-Nya?

Salah satu resolusi terpenting tahun ini ialah lulus. Bahkan, sedari awal tahun saya meng-highlights sebuah kampanye resolusi Tokopedia terkait lulus 2018 di Instagram. Nyatanya? Gagal. Dan ini begitu memilukan. Sampai sekarang pun saya masih berusaha terus ikhlas menerima kenyataan kalau tidak bisa lulus tahun ini. Bagi saya ini salah satu hal terberat.

Pada tahun ini, saya bertekad buat lebih jalan ke barat Indonesia. Hal itu lantaran dua tahun ke belakang, meski pun belum banyak-banyak amat, saya cenderung melakukan perjalanan #JalanBarengDewi ke timur. Tahun ini, saya tercatat hanya sekali ke arah barat, yakni ke Belitung. Itu pun di awal tahun. Sisanya? Sekali ke Flores dan mesti menahan diri demi skripsi serta serentetan hal lain.

Tidak hanya itu, tahun ini semestinya saya menggarap #JalanBarengDewi lebih serius. Saya mau bikin podcast dan aktif ngeblog. Lagi-lagi mesti terbengkalai dan gagal. Banyak hal, salah satunya skripsi. Damn skripsi shit again!

Resolusi lain ialah saya mau kerja, entah kontributor atau freelance beneran sehingga tidak perlu lagi minta uang ke orang tua. Syukur ini terwujud sejak Februari atas kesempatan tersebut. Meski kalau dihitung-hitung uangnya tak seberapa dan lebih besar saat saya kirim berbagai tulisan tak tentu, bahkan saya banyak nombok. Saya tetap bahagia. Setidaknya saya sudah sedikit mencicipi work lyfe karena suka ke kantor.

Lebih sehat. Resolusi ini sangat nyungsep. Tahun ini jadi salah satu tahun terlemah. Beberapa kali mesti masuk IGD lantaran urusan lambung. Akhirnya, saya mesti mengurangi konsumsi makanan pedas dan asam. Sungguh sedih! Good bye bon cabe.

Selain itu, lebih sehat lewat olahraga hanya jadi wacana. Lari pagi hanya sesekali, apa lagi semenjak sudah tidak kos. Juga soal kesehatan mental. Sangat buruk. Sangat parah. Saya begitu stres dan depresi. Dan saya tahu, saya sedang tidak sehat fisik dan psikis.

Ibadah. Iya saya beresolusi meningkatkan keimanan lewat ibadah tahun ini. Hmm tidak sepenuhnya berhasil. Saya mesti mengakui ada beberapa bagian di tahun ini yang begitu jauh dari Tuhan. Di bagian lain saya merasa dekat. Saya suatu ketika bisa sangat rajin tahajud, dhuha, puasa Senen-Kamis, dan sederet tambahan kewajiban lain. Namun, saya suatu ketika bisa sengaja meninggalkan kewajiban sholat 5 waktu.

Keimanan, lebih tepatnya soal serentan ibadah pada tahun ini menjadi hal yang sangat dinamis. Namun, secara bersamaan saya lebih memahami agung dan esanya Tuhan, terutama lewat ayat-ayat-Nya di Al Quran serta belajar dari keadaan.

Saya pun memikirkan hal duniawi, yakni tabungan. Sedari akhir tahun lalu, saya sudah mewanti-wanti diri untuk pol-polan nabung pada 2018. Harus menyentuh angka sekian. Realitanya sangat sangat terbalik. Sangat. Tabungan saya selama kuliah beberapa tahun ini mesti ludes untuk hidup saya. Di sini saya sadar, saya kurang bersyukur dan gaya hidup saya yang mungkin mesti dikaji ulang.

Banyak juga ya resolusi saya. Mungkin masih ada beberapa hal lebih detil yang menjadi keinginan kuat saya pada 2018 untuk diwujudkan dan tak sebesar resolusi tadi. Contohnya lisensi diving, lisensi berkendara, kemampuan bahasa asing, naik berbagai gunung, dan lainnya yang punya garis nasib sama: gagal. Padahal kayak ya udah gitu itu bisa dilakuin, tapi kenapa gagal dan terabaikan.

Saya mengakui resolusi-resolusi 2018 tersebut bagai timbul dan tenggelam begitu saja. Lebih banyak muak dengan hidup. Lebih banyak ya udah. Ini yang menjadi refleksi saya untuk tahun depan. Diri saya perlu menjadi pengingat diri saya sendiri terkait resolusi awal tahun.

2019 resolusi saya tidak mau muluk-muluk. Salah satu yang jadi keutamaan ialah lebih mencintai diri saya sendiri. Lebih ikhlas dengan keadaan. Lebih tidak peduli sama orang lain yang memang tidak peduli dengan saya. Kenapa? Ada di bagian dua nanti.

Skripsi bangsat!

Puncak gunung es saya yang jadi dalih banyak permasalahan tahun ini ialah skripsi. Benar-benar brengsek masa skripsi ini. Rasanya sudah habis kata-kata makian saya untuk fase ini. Sampai-sampai saya begitu lelah, baik fisik maupun psikis. Hingga sekarang saya berada di titik mencoba mengikhlaskan semua hal dalam proses ini.

Urusan skripsi benar-benar menjadi pemicu berbagai gejolak pada tahun ini. Ya Allah. Tidak terhitung lagi berapa kali saya nangis-nangis terkait skripsi. Dari urusan sulitnya meraih obyek penelitian dan kena semprot karena track record skripsi orang lain, minimnya referensi, tingkat disiplin yang rendah, sampai urusan dengan dospem.

Ya Allah. Rasanya mau ngeluh terus. Saya secapek itu, terutama bulan November dan Desember. Benar-benar titik terlemah saya terkait skripsi. Saya sudah selesai semua, tinggal menunggu bimbingan-bimbingan akhir, apakah acc atau revisi minor (lagi).

Saya begitu emosional saat mesti ke kampus pagi sekali (Jakarta-Jatinangor) dan menginap tanpa bawa apa-apa lalu di-php dospem berkali-kali. Huft benar. Bahkan dia melarang saya ke Nangor kalau belum ada kabar pasti, padahal kabar kepastian itu sudah saya dapat sebelumnya. Dan, saya sejak berbulan-bulan belum bimbingan dengan dia lantaran re-schedule dan minta saya bimbingan dengannya kalau semua sudah beres. Ini bagai kumpulan rasa lelah yang meledak. Serendah dan selelah itu saya sampai di bis waktu pulang mesti nangis.

Belum lagi saya merasa skripsi saya ini seperti double standard. Kok teman-teman saya ya udah aja bisa sidang ya? Kok saya mesti nambah ini itu. Saya sudah semaksimal mungkin menekan sikap perfeksionis yang tahu itu jadi penghambat. Selama ini, saya selalu mencari celah skripsi saya sendiri untuk dikritisi. Oke saya lepas itu di penghujung tahun demi mengejar wisuda Februari. Namun, hal-hal yang saya tidak masukkan (walau saya sendiri merasa ingin memasukkannya) ke skripsi jadi revisi dospem pertama.

UHHHHH. Bisa tidak hal-hal yang tak terlalu krusial itu jadi revisi setelah saya sidang? Saya mau sidang.

Serius deh awalnya saya ngotot mau ini dan itu di skripsi saya. Saya mau sesempurna mungkin. Namun, itu menyiksa.

Saya begitu marah, kecewa, bingung dengan diri saya sendiri. Saya selalu menyalahkan diri saya sendiri atas skripsi. Bahkan di titik ini saya menyesal, kenapa sih dulu waktu seminar pertama ngotot banget mau bikin judul “Literasi.co sebagai Media Alternatif Crowdfunding dan Crowdsourcing” ? Ajuan proposal ngotot sok idealis bangsat yang akhirnya bikin saya usulan ulang lantaran beberapa hal. Dan itu memperlambat kelulusan saya ini akhirnya.

Ujung-ujungnya ganti topik yang duh tidak kalah sulit. HHHH. “Adaptasi Jurnalisme dengan Konsep Homeless Media” . Bahkan “homeless media” pun belum sepenuhnya diakui. Belum ada penelitian ilmiah yang menyebut istilah itu.

“Ngapain sih njir lo ambil topik ini? Sok idealis lo! Makan tuh nggak ada referensi Indo”

“Ini adalah akibat lo nggak disiplin dan lebih milih ngerjain hal ini”

“Mampus baru panik sekarang. Apa panik-panik, tapi nggak termotivasi”

Iya saya jahat sama diri saya sendiri. Saya memang bisa bilang, skripsi bikin saya sangat terpuruk. Begitu menjadi beban, walau saya sudah berkali-kali men-suggest diri saya untuk santai dan ya udah aja. Sulit. Karena saya sedari awal memang sudah mendoktrin diri bahwa saya tidak mau sekadar lulus dan skripsi menjadi asal. Ini soal pilihan sih. Toh saya belum rampungkan skripsi saja, sudah banyak yang minta skripsi belum jadi itu sebagai referensi dan contoh. Maaf sekadar bilang he.

Saya terjebak dalam zona tidak nyaman yang lambat laun menjadi nyaman. Semangat skripsi sangat naik turun. Kadang saya bisa sangat termotivasi, kadang keok. Ujung-ujungnya hanya bisa sesal karena gagal sidang dan lulus tahun ini.

Stres makin menjadi saat hampir semua teman-teman saya, baik yang sejurusan, sekampus, antar kampus, junior, dan lainnya sudah lulus. HHHHHHHHH mau murka aja. Awalnya sih bodo amat. Lama-lama jadi beban pikiran. Padahal saya sangat sadar, setiap orang punya jalannya masing-masing dan kita berjalan di sepatu yang berbeda. Tapi, ya memang saya tidak bisa menampik api yang menyala di diri.

Bahkan, saya memang pernah dengan sengaja tidak ke wisuda beberapa teman. Kenapa? Saya begitu takut dengan “wisuda”. Sangat muak akan pertanyaan-pertanyaan bangsat soal kapan saya lulus dan wisuda. Fak. Saya mungkin tidak akan marah dengan mereka yang bertanya dengan maksud perhatian atau basa basi sekadarnya itu. Saya yang ada malah menjahati diri saya sendiri. Malah sedih, stres, dan hal-hal negatif lainnya.

Iya, saya memang tidak merasa mendapat dukungan mental. Banyak orang, bahkan orang terdekat saya yang meremehkan masalah skripsi ini. Mereka hanya berorientasi pada capaian akhir, tanpa melihat proses. Ini yang semakin membuat saya hanyut dalam anggapan skripsi bangsat.

Sebenarnya saya sangat sangat santai mau lulus kapan. Bahkan saya memang ingin lulus 4.5 tahun. Saya mau puas-puasin masa mahasiswa. Pergi ke sana ke mari, mendapat banyak pengalaman dan relasi, dll. Toh, bagi saya kuliah itu soal proses dan tidak semata-mata IPK atau lulus cepat. Sejauh ini IPK pun alhamdulillah aman. Dua hal itu jadi pertanggung jawaban ke orang tua saja. Kesuksesan hal lain.

Saya sudah berbulan-bulan berusaha meyakinkan diri. Tidak apa-apa belum lulus. Santai. Toh belum lulus ini produktif. Tapi, itu rasanya hanya untuk membohongi diri sendiri saya saja.

Belakangan saya stres berat. Saya dikata-katain orang, dimaki karena tidak kunjung lulus. Dan itu hadir dari orang yang harusnya jadi yang terdekat dan menyamangati saya. Saya sangat down. Makin down. Jadi, mereka memang tidak melihat proses saya selama kuliah ini. Hanya soal IPK dan ukuran-ukuran tersebut.

Mereka pun menganggap remeh dan sinis ketakutan saya setelah merampungkan skripsi serta psikis saya. Mereka bilang saya terlalu idealis dan muluk-muluk. Mereka bilang saya bodoh dan umpatan lain yang begitu membekas, menambah daftar luka psikologis hidup. Mereka bikin saya makin sangat muak.

Banyak orang tanya, kenapa sih saya belum lulus juga? Sejatinya jawaban paling tepat ialah saya takut dan memang sulit berdamai dengan diri sendiri. Saya begitu takut fase setelah lulus karena bagi saya akan sangat berbeda. Soal tanggung jawab, pilihan, dan hal-hal lain. Saya belum bisa menentukan langkah lanjutan karena terlalu banyak menimbang ini dan itu. Ini buruk dan bikin frustasi. Di satu sisi hantu bernama UKT dengan nilai belasan juga membayangi.

Selama setahun ini, apa lagi enam bulan ke belakangan tidur saya buruk. Saya sering mimpi tidak karuan. Seperti dikejar-keja banyak hal, termasuk urusan skripsi saking takutnya. Lebay ya? Ya itu yang terjadi di diri saya. And no one can calming me bout it.

Namun, saya sadar harus segera keluar dari ketakutan tersebut, melawannya. Sempat saya termotivasi oleh seseorang, tapi dia lantas pergi begitu saja.

Gara-gara skripsi, saya jadi tidak bisa ini itu dan lainnya. Belum lagi mesti menghadapi hal-hal lain yang tidak kalah bangsatnya. Orang-orang banyak yang bilang agar saya cepat menyelesaikan skripsi ini biar lebih tenang. Iya, saat saya sedang seberusaha itu.

Tapi, nampaknya perjalanan setelah skripsi usai pun tidak akan pernah menjadi lebih mudah.

Dari skripsi ini saya jadi banyak belajar. Soal melawan diri sendiri dan ikhlas. Dan, belakangan saya semakin sadar.

Skripsi ini bukan sumber utama kekalutan yang terjadi, ia hanya jadi pemantik dan saya berlindung di baliknya atas pertanyaan-pertanyaan orang: lo kenapa?

Semoga saya bisa sidang awal bulan Januari.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet