Kicau Kacau 2019
Suatu hari pada Desember saya mimpi buruk. Sebenarnya sepanjang 2019 saya memang banyak sekali mengalami mimpi buruk yang berujung tangisan saat bangun. Namun, kali ini mimpi buruknya berbeda: saya bertengkar hebat dengan editor di kantor lama.
Mimpi itu berjalan cepat seingat saya. Ada adu argumen cukup sengit antara saya dan si editor. Saya seperti begitu kesal, nggak mau ngalah, dan ngomel sekali hari itu. Wajah editor yang secara nyata belum pernah saya temui itu tampak samar, tapi masih terlihat begitu marah dan nggak mau kalah juga sama saya.
Lalu, tiba-tiba saya terbangun dengan terengah-engah.
Saya diam. Kaget.
Shit. Hal ini masih mengganggu saya. Bahkan di alam bawah sadar. Bahkan saat saya udah kerja di tempat baru yang cukup berbeda dunia.
Lalu saya diam lagi.
Tahun 2019 memang tahun yang begitu aneh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Puncak banyak hal. Jatuh bangun luar biasa dahsyat. Terseok-seok segala aspek. Kehilangan banyak hal. Kepercayaan diri merosot drastis — bahkan sejauh ini paling parah yang pernah saya alami. Rendah diri luar biasa hebat. Insecure. Takut. Krisis. Konflik. Dan rasanya menuju akhir 2019 semakin dipenuhi cacian kata-kata kasar.
Pertengah tahun sampai November saya nggak habis-habis mengeluh. Memaki. Menyesali. Mengumpat. Nangis-nangis. Marah. Kecewa. Takut. Bingung. Dan melabeli 2019 sebagai tahun yang bangsat. Begitu buruk dan kelam.
Setiap cerita ke orang saya selalu bilang ya 2019 memang penuh dengan hal nggak enak yang begitu saya benci. Tok. Selalu itu. Itu. Itu. Itu. Dan mengeluh. Menyesal. Kecewa. Marah. Mengumpat. Takut. Nangis-nangis. Bingung. Itu. Itu. Dan itu lagi terus menerus.
Saat perjalanan ke Jogja akhir November lalu, bahkan saya sudah setengah jalan nge-draft tulisan khas akhir tahun . Isinya? Tentu saja nggak jauh-jauh dari umpatan kebencian saya terhadap tahun ini.
“Jing. 2019 fak banget.”
Di pikiran saya itu itu melulu. Menyalahkan tahun dan diri sendiri atas banyak hal. Bahkan sampai sekarang kadang perasaan nyalahin diri sendiri atas banyak hal masih sesekali datang.
Kok gini ya. Kok gitu ya. Bangsat lah. Fak. Sendirian. Nangis. Gue kenapa. Kenapa sih. Astaga. Ya Allah. Ga abis-abis. Kapan 2020. 2019 emang bangsat. Buruk. Kelam. Bingung. Bingung. Capek. Bisa ngga ya. Takut. Anjing. Gue takut banget. Salah. Gue salah. Nggak mau lagi 2020 gini. Cepet kek 2020.
Saya diam menatap langit-langit kamar setelah bangun dari mimpi bertengkar dengan editor. Benar-benar diam. Lalu nangis.
Ternyata saya belum benar-benar berdamai dengan banyak hal. Termasuk soal kerjaan ini. Bisa-bisanya sampai ke mimpi padahal nggak ada aktivitas terkait sebelumnya.
Saya diam. Diam. Dan diam. Lalu nangis lagi dan lagi.
Tahun ini memang banyak nggak enaknya. Bukan cuma soal kerjaan yang pada akhirnya saya akui membawa rasa traumatis yang kok sampai sebegininya ya. Namun, juga hal-hal lain yang ternyata krusial. Keluarga, masa depan, asmara, pertemanan, dll.
Bener-bener nggak enak.
Nyaris sepanjang tahun saya nggak bisa tidur tenang dan nyenyak.
Nyaris sepanjang tahun saya bisa tiba-tiba nangis. Bahkan sama orang asing. Bahkan di Transjakarta.
Nyaris sepanjang tahun saya kehilangan diri saya sendiri. Menjadi orang yang sangat berbeda. Bahkan, rasanya saya mau kenalan ulang sama orang-orang yang baru saya temui tahun ini.
Emang bener-bener bikin terpuruk 2019 ini.
Tapi, mau sampai kapan saya terus-terusan begini? Iya tahun ini memang buruk lantas apa? Kalau masih terus mikir gini, ngeluh, maki-maki tahun ini yang bikin jatuh ke jurang dahsyat, tenggelemin lagi ke dasar laut terus-terusan, berarti saya belum kembali ke diri saya.
Mau sampai kapan saya terus-terusan nyesel. Kecewa sama banyak pilihan yang saya ambil, lalu menjalani konsekuensinya. Mau sampai kapan saya terus-terusan menunjuk diri sebagai orang salah dan penyebab kekacauan ini semua. Sampai kapan?
Yang saya kenal, saya bukan orang pesimis, mudah nyerah, takutan, mikirin kata orang, insecure sama orang lalu nge-down, menyesali pilihan yang saya ambil lalu menjalani konsekuensinya dengan keluhan misuh-misuh nggak berhenti. Bukan orang yang doyan ngeluh dan mencaci keadaan.
Yang saya kenal, saya mampu mengubah hal nggak enak itu jadi motivasi maju. Pelajari kegagalan, lalu coba lagi. Coba lagi. Hajar lagi. Apa yang kurang? Apa yang bisa di-improve? Hajar terus. Naikin limit diri. Terus. Terus. Terus. Mentok dobrak lagi. Terus fokus sama diri sendiri. Bukan yang malah tenggelam. Dan depend sama orang lain.
Saya sudahi semua hal nggak enak tahun ini. Terus berusaha berdamai, memaafkan, menerima, dan ikhlas. Melihatnya lebih bijak dari berbagai sudut. Kembali seperti saya dulu.
Ya. Sekali lagi saya bisa bilang, 2019 memang banyak nggak enaknya dan begitu menyiksa lahir batin. Tapi, ini saatnya cukup.
Saya beterima kasih dengan semua hal itu. Bukan jadi tahun yang terburuk, tapi malah jadi salah satu yang terbaik dengan pelajaran-pelajarannya. Saatnya lebih bijak dan dewasa. Kini saya lebih mengenali diri saya.
Saatnya jadi saya kembali. Yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
“Salahin diri yang udah bawa kita sejauh ini is unkind for ourselves.”
Saya minta maaf ke banyak orang yang ngerasa saya aneh banget tahun ini. Sering banget saya dibilang tahun ini begitu berbeda dari saya sebelum-sebelumnya. Mulai dari sering buka hp bahkan angkat telpon saat ketemu, males bales chat, menghindari pertemuan, banyak ngeluh, terlalu saklek ngotot pada suatu hal, susah dibilangin, kasar, sampai harus tahan-tahan sama saya yang sempat berkali-kali nge-down parah dan ingin bunuh diri.
Maaf, saya nyaris (atau mungkin sudah) jadi orang ketiga di suatu hubungan.
Saya minta maaf ke diri saya sendiri.
Saya berterima kasih untuk banyak orang yang masih mau stay sama saya. Masih mau menjalin silaturahmi pertemanan. Masih mau kenal sama saya. Masih mau saya ajak ngobrol, ketemuan, cerita, dan lainnya. Masih mau nanya kabar saya. Masih ada. Masih mau nolong saya, walau saya nggak minta. Makasih sudah menemani saya survive tahun ini.
Saya berterima kasih ke diri saya sendiri.
Saya sadar, saya memang butuh pertolongan. Terima kasih sekali!
Rest is allowing yourself to rest, it’s not beating yourself up for being lazy or stagnant. Rest is accepting that you deserve help, you deserve better, you deserve solace, you deserve your own timing to achieve things.