Menganyam Asa di Flores Timur

Dewi Rachmanita Syiam
8 min readOct 18, 2018

--

Nggak mudah untuk sampai ke salah satu desa binaan Du’Anyam, yakni Wulublolong. Perlu menyeberang laut dari Larantuka selama sekitar 60 menit dan dilanjut perjalanan darat dengan pick up di jalan berbatu. Namun, itu nggak seberapa dibanding perjuangan para Du’a (ibu) dan Mo’an (bapak) Flores Timur untuk terus menganyam asanya demi kehidupan lebih baik. Semua mereka lakukan lewat tradisi yang kini mulai dihidupkan kembali: anyaman pucuk daun lontar.

Selama empat hari tiga malam saya mendapat mandat liputan ke Flores Timur bersama DBS Daily Kindness Trip dan Du’Anyam. Bukan sekadar perjalanan biasa yang unggul dengan destinasi keindahan alam timur Indonesia, melainkan perjalanan penuh pelajaran dari sosok-sosok inspiratif lewat balutan tradisi.

Salah satu yang bikin saya berdecak kagum ialah kegiatan Du’Anyam. Sebuah social enterprise yang diinisasi tiga perempuan muda untuk mengembangkan potensi anyaman yang sudah jadi tradisi masyarakat Flores. Awalnya, mereka hadir pada 2014 karena ingin membantu kesehatan dan pendidikan masyarakat setempat, khususnya ibu dan anak. Lewat anyaman tradisional, mereka coba menjembatani hal itu. Kini, siapa sangka, anyaman tradisional Flores itu sudah mendunia dengan kualitas baik dan berkembang bersama lebih dari 500 orang di Flores Timur.

Kawan baru dari Dinas Pertanian

Siang itu cukup terik dengan ombak tak begitu tinggi. Angin berhembus memasuki jendela kapal menyejukkan diri. Saya akan menyeberang ke Pulau Solor dengan kapal untuk melihat langsung proses pembuatan anyaman khas Flores.

Kapal itu nggak besar, tapi bisa mengangkut beberapa motor di depannya. Jadwal terbatas. Oleh karena itu, perlu kedisiplinan diri supaya nggak tertinggal. Soal biaya tiket nggak usah khawatir, cukup rogoh kocek Rp15.000 per orang dan Rp30.000 per motor untuk menyeberang ke pulau seberang.

Selama menyeberang saya bertemu seorang kawan baru yang bekerja di Dinas Pertanian. Namanya saya lupa, tapi dia asli dari Adonara. Sedari awal, saya memang sudah tertarik untuk ngobrol dengannya yang fokus baca buku berjudul Generasi Muda Menolak Kemiskinan. Sebuah buku terbitan 2008 yang berfokus soal pentingnya peran pemuda memberantas kemiskinan dengan usaha dan kreatifitas. Sikap “sok kenal sok dekat” saya tanya ini-itu berbuah obrolan manis di belakang kapal.

Dia ajak saya lihat pemandangan lebih luas dan jelas. Di sekeliling laut, kondisi geografis khas Flores layaknya di peta terpampang. Gunung dan bukit-bukit cokelat menjulang. Samar-samar perkampungan di beberapa lokasi terlihat dari kejauhan.

Abang dari Dinas Pertanian itu cerita banyak soal Flores, termasuk adat masyarakat di balik gunung yang pada waktu tertentu kirim sesajen ke puncak. Juga soal tragedi tsunami 1992 dan banjir bandang karena hujan berhari-hari yang menerjang berbagai kampung. Ia begitu ramah dan antusias perkenalkan daerah asalnya ke saya yang orang asing dan baru pertama kali ke Flores.

Sungguh saya berterima kasih atas segala cerita menariknya selama di kapal. Perjalanan awal yang mengesankan. Ah memang kawan baru di perjalanan selalu menyenangkan!

Sambutan Pulau Solor

Kiri saya bukit dan batuan besar hitam khas proses sedimentasi menjulang. Sedangkan kanan saya garis laut terpampang jelas. Sesekali saat jalanan menanjak, pemandangan makin indah dari atas Pulau Solor melihat laut yang luas. Perjalanan dengan pick up yang antar penumpangnya saling berdempetan menghadap jalan itu penuh arti. Soal pelosok negeri yang simpan kekayaan besar: budaya menganyam.

Jalannya memang tak mulus. Penuh debu dan berbatu. Sesekali jalanan agak mulus dengan aspal, lalu nggak berapa lama kembali seperti semula yang mengharuskan saya dan rekan-rekan lain menutup hidung. Penginapan pun hanya satu tanpa listrik. Biayanya kelewat murah, yakni Rp25.000 — Rp50.000 menurut penuturan Hanna, salah satu founder Du’Anyam. Sinyal? Jangan ditanya, Telkomsel is the one and only one.

Sambutan hangat di bawah teriknya matahari datang dari para du’a berpakaian khas Flores. Tenun cantik melilit tubuh mereka saat luwes menari menyambut saya dan rekan-rekan. Musik instrumental seadanya turut mengiringi langkah saya mendekat ke rumah khusus yang jadi “markas” Du’Anyam.

Sebelum melangkah lebih lanjut, terdapat semacam penghormatan singkat. Biasanya ini dilakukan kalau ada pastor yang datang, pengecualian untuk kami yang datang dari Jakarta. Tiap tamu dianjurkan meminum tuak khas, menghisap rokok, dan menyirih. Saya nggak coba tuaknya, hanya sekadar menyentuh gelas. Soal rokok, saya sempat hisap sekali. Hmm agak berat, tapi kurang terasa karena dilinting dengan pucuk daun lontar yang kuat. Kalau menyirih juga saya coba dan berujung lepehan tak kuasa menahan rasa pahit di lidah.

Pulau Solor kembali menyambut saya dengan makanan luar biasa menggiurkan. Sesaat setelah disambut di depan rumah dan obrolan perkenalan singkat, saya dihidangkan berbagai panganan khas Flores. Layaknya daerah yang tak jauh dari laut, makanan utama ialah ikan. Kali ini ada tiga menu ikan yang tersaji. Lalu, tahu dan tempe goreng. Pun sayur dan telur balado. Semacam pepes jagung dan nasi merah juga turut serta melengkapi makan siang hari itu. Tak kuasa menahan lapar, saya dan rekan-rekan yang lain pun tak cukup satu tahap makan, tapi terus menambah. Apalagi saat buah-buahan mulai tersaji. Damn, mangganya enak banget!

Tangan-tangan terampil pelestari budaya

“Waduh kalau jadi orang sini, aku gagal jadi cewek sejati nih,” canda saya saat belajar menganyam yang gila susah banget!

Ibu dan rekan-rekan pun tertawa saja.

Yap, nggak gampang menganyam. Butuh keterampilan khusus disertari ketekunan. Kalau saya sih memang kayaknya kurang lihai soal craft seperti ini.

Tangan-tangan terampil para du’a itu ada yang memang sudah terlatih sejak kecil ada yang baru beberapa bulan. Nggak bisa dipungkiri, budaya menganyam bagi perempuan Flores memang makin memudar. Para anak muda sudah gengsi menganyam yang kesannya menjadi kegiatan orang tua. Mereka lebih asik dan membunuh waktu dengan gadget.

“Sejak ada Du’anyam ya sekarang sudah mulai pada mau. Apalagi mereka melihat anyamannya mau dipakai orang kota,” kata Hanna.

Wow, rasanya hal itu memang nggak cuma terjadi di Flores, tapi daerah-daerah lain. Syukurnya saat ini mulai ada anak muda yang bergerak melirik budaya untuk dikemas apik dalam berbagai hal, misal social enterprise.

Nggak cuma anak muda aja yang gagal paham soal menganyam. Para paruh baya pun demikian. Mereka mengikuti pelatihan khusus dari Du’Anyam untuk kembali menganyam yang sudah jadi tradisi leluhurnya itu. Meskipun, memang nggak semua langsung tiba-tiba bisa, apalagi untuk anyaman dengan level kesulitan tinggi seperti berbentuk 3D.

Jauh sebelum dianyam, pucuk daun lontar mesti dipetik oleh para lelaki di berbagai desa. Uniknya, pohon lontar nggak ditanam khusus, melainkan secara acak mereka cari ke berbagai tempat yang tumbuh sendiri. Belasan meter batang pohon dipanjat demi pucuk daun lontar yang jadi bahan baku anyaman. Sesudahnya, daun dijemur selama dua hari di bawah matahari.

“Dulu semua dikumpulkan di sini (rumah saya). Tapi, sekarang sudah jemur di rumah masing-masing,” kata Hemaliani, salah satu kader Du’Anyam sejak awal berdiri.

Setelahnya daun-daun tersebut di-supply ke berbagai desa untuk dianyam para ibu. Sistemnya adalah part time. Jadi, pekerjaan rumah dan lainnya masih tetap dapat dilakukan.

Lewat tangan-tangan terampil para ibu, anyaman yang jadi tradisi terus berusaha dilestarikan. Daun disuwir dengan ukuran khusus lantas direbus hingga mendidih untuk mengawetkan dan membunuh kuman. Diwarnai dan dijemur hingga kering.

Proses asik selanjutnya ialah menganyam. Begitu keren. Jadi begini ya cara buat anyaman. Pola-polanya khusus dan khas, nggak sembarangan. Untuk produk 3D, diberi penyanggah suduh dari tulang daun. Semua pun tanpa perekat lain, seperti lem atau tali. Benar-benar dari pucuk daun lontar yang kekuatannya sudah terjamin.

Terkait pewarnaan ada dua, dari alami maupun sintetis. Contoh yang alami dari daun jati untuk warna cokelat dan kunyit untuk warna kuning. Sedangkan untuk pewarna buatan pun dipilih yang punya kualitas baik. Jadi, warna tahan lama.

Penamaan produk anyaman pun sama dengan aslinya. Misal, sobe, dese, kaleka, toba, lepa, kepe, pita, sokal, dan lainnya. Cuma memang fungsinya mungkin sudah bergeser kalau sudah dipasaran. Terkadang pemesan juga bisa pesan sendiri ukuran dan bentuknya.

Salah satu partai besar datang dari Asian Games 2018. Du’Anyam jadi official merchandise yang hasil anyamannya diimplementasikan ke berbagai produk fungsional lain, seperti topi, dompet, dan lainnya.

Dari proses ini saya belajar, nggak salah memang kalau produk-produk craft terbilang mungkin lebih mahal dibanding produk pabrik. Prosesnya panjang dan penuh nilai tersendiri. Ada unsur budaya yang ikut lestari, juga unsur pemberdayaan ekonomi di baliknya. Mungkin kita bisa dengan santai membeli produk luar negeri atau buatan pabrik dengan harga mahal, tapi ngomel di belakang saat tahu harga craft menjulang. Minim apresiasi untuk produk lokal sendiri.

Saya juga belajar soal pentingnya peran anak muda dalam kehidupan. Soal globalisasi yang masih jadi isu ancaman, bahkan di pelosok negeri. Pendidikan karakter dan kewarganegaraan kayaknya perlu terus digenjot untuk nggak sekadar Pancasila atau Bhineka Tunggal Ika, tapi implementasi nyata cinta tanah air lewat budaya.

Kebayang nggak kalau anak muda sudah makin enggan menyangam? Atau malah makin nggak tahu kalau itu kebudayaan mereka? Bangsa kita nggak ubahnya miniatur Amerika atau bangsa Eropa yang gagal. Berlaga modern dan berkelas dengan menyanjung negeri seberang, padahal negeri sendiri patut dijunjung dan berkelas dengan budaya leluhur yang tak ternilai harganya.

Rasa-rasanya setelah perjalanan ini, saya jadi ikut menganyam asa sebagai anak muda untuk bergerak seperti Du’Anyam. Mendorong dan membangun masyarakat untuk hidup lebih baik dengan budaya turun temurun menghadapi tantangan zaman yang kian maju.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet