Pacitan yang Sejuk

Dewi Rachmanita Syiam
3 min readApr 20, 2024

--

Kendaraan roda dua dan empat yang melintas begitu padat sehingga menyebabkan antrean panjang di banyak persimpangan. Udara yang terasa, pengap, dan kering. Ruas jalan dipenuhi gang-gang sempit yang pinggir jalannya jarang ditanami pohon-pohon sehingga jauh dari kata sejuk. Banyak orang wara-wiri sibuk mengejar transportasi massal agar tidak terlambat bekerja. Waktu pun berjalan terasa seperti sangat cepat. Dan Pacitan, kabupaten yang dijuluki seribu goa memiliki kenyamanan yang bertolak belakang dengan hal-hal tersebut.

Perjalanan saya dan suami dalam #JalanBarengDewi edisi Road Trip Jawa pada akhir 2023 lalu akhirnya sampai di tempat kelahiran SBY setelah melewati naik turun jalan mulus dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Niat awal ialah menjajal pantai serta susur sungai yang terkenal aduhai. Namun, kondisi sepertinya kurang memungkinkan, baik cuaca maupun fisik tubuh setelah berhari-hari berkendara dari Depok. Mungkin memang sudah jalannya untuk istirahat dan menikmati alam perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut.

Kami memasuki wilayah Pacitan saat matahari mulai turun perlahan dengan dipenuhi pohon besar di kanan-kiri jalan. Disambut dari gapura besar selamat datang bergaya cukup modern, kami lantas menyusuri jalan yang berkelok serta naik turun menuju pusat kota. Jalan-jalan utamanya mulusdan nyaris tidak ada kemacetan mengular. Suasananya begitu sejuk sekaligus hangat seperti masuk ke kota ghibli.

Belum lagi pohon-pohon yang usianya buka 5–10 tahun lagi, tapi puluhan tahun membuat daerah yang menghadap Samudera Hindia itu nyaman. Tak heran memang bila banyak pepohonan besar, menurut cerita dulunya Pacitan adalah hutan belantara dan mulai dibabat oleh beberapa tokoh awal atau disebut pembabat alas, yakni Kiai Siti Geseng, Kiai Ampak Boyo, Ménak Sopal, dan Syekh Maulana Maghribi.

Santai Sore di Taman

Menahan lapar selama perjalanan membuat saya dan suami mencoba melipir ke pusat kota untuk mengisi perut. Tak banyak orang berjualan dan toko-toko tutup. Kami perkirakan mungkin karena waktu kedatangan kami agak nanggung belum terlalu larut sehingga kuliner malam belum buka. Alhasil kami makan nasi pecel dan ayam goreng sekitar alun-alun. Setelah kenyang dengan hanya merogeh kocek tidak sampai Rp50.000,- untuk berdua, kami melanjutkan jalan-jalan sore di alun-alun yang tidak besar-besar amat.

Dan lagi-lagi, pepohonan besar menghiasi sekitar pusat kota itu membuat kami dengan nyaman duduk di kursi taman cukup lama sembari makan ice cream dan melihat burung-burung beterbangan ke sana-ke mari.

Seafood Lezat di Restoran Langganan Keluarga SBY

Meskipun belum rezeki susur sungai Maron atau bermain pasir di Pantai Klayar, urusan santap masakan laut tidak kami skip. Dan kali ini saya yang menjalankan mobil tancap gas menuju restoran yang direkomendasikan banyak orang: Warung Makan Bu Gandos.

Lokasinya di pinggir jalan dengan tampilan warung makan yang sederhana. Ada dua area yakni bagian atas dan bagian bawah lesehan dengan view pesisir. Kami segera pesan lobster dengan dua ukuran, sate tuna, cumi, dan kangkung. Tak lupa kelapa jadi pelengkap untuk menyegarkan suasana menjelang siang waktu itu. Total kami bayar sekitar Rp300.000,-

Tempat Masa Tua?

Sejenak mampir di Pacitan buat saya dan Gema berpikir, kabupaten ini begitu nyaman untuk kami yang baru beberapa jam singgah. Menurut kami, daerah ini bisa jadi semacam escape atas hiruk pikuk kota yang membuat penat. Bosan bisa ke goa, pantai, atau sungai. Harga makanan masih terjangkau dan nyaman. Mungkin kami akan segera menjajal Pacitan lebih dalam lagi, terutama alamnya untuk semakin meyakinkan daerah ini cocok jadi pilihan bagi yang ingin menghabiskan masa tua dengan lebih santai.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi