Para Pengantar Perjalanan

Dewi Rachmanita Syiam
8 min readMay 8, 2018

--

Bak perahu yang sedang mengarungi lautan, bis pariwisata 57 kursi bergoyang-goyang saat melewati ruas-ruas jalan wilayah Brebes. Bukan kali ini saja bis bergoyang, tapi juga saat para siswa sebagai peserta berjoget dan menyulap bis layaknya diskotik berjalan dengan alunan musik dangdut. “Untungnya bis ini udah pake balon (dalam suspensi udara), Bu, jadi guncangannya enak. Nggak sakit dan bikin kaget penumpang,” jelas Erwin sang pengemudi menjelaskan kondisi bisnya itu kepada salah satu guru dalam bis.

Memang sudah jadi keharusan supir dan kenek bis untuk paham soal kondisi kendaraan yang mereka bawa. Mulai dari “daleman” bis sampai cara menghadapi keadaan darurat dalam perjalanan. Abah, panggilan akrab dari seorang supir bis yang sudah ke berbagai tempat wisata membawa penumpang bercerita, suatu ketika dua ban bisnya gembos di tengah perjalanan. Tidak ada bengkel dan malam sudah datang. Tak kehabisan ide, demi melanjutkan perjalanan ia dan sang kenek berusaha mencari cara agar bis tetap melaju. Walau terseok-seok, bis dan penumpang akhirnya sampai tujuan dengan selamat. Ban yang gembos dipindah ke kedua sisi, sehingga beban lebih seimbang.

Akhir April sampai awal Mei lalu saya kembali berkesempatan menjadi tour leader. Saya memandu para pelajar SMK dari Jakarta Timur dalam rangka industrial tour ke Semarang dan Yogyakarta. Dalam tur yang diatur travel orang tua ini, saya berkesempatan untuk mengulik lebih jauh kisah para supir dan kenek bis. Mulai dari obrolan selama perjalanan di dalam bis sampai saat makan di ruangan khusus crew tiap restoran.

Abang kapan pulang?

“Haha udah dua bulan nggak pulang ke rumah ini. Istri udah nanyain,” kata Abah. Dua bulan tidak bertemu keluarga belum seberapa, seorang supir bis lain bahkan lebih dari dua tahun tak pulang ke rumah. Hidup mereka begitu nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain membawa penumpang berlibur. Kadang malam ini sampai di pool bis, besok pagi harus berangkat lagi ke luar kota. Begitu terus apalagi saat musim liburan datang.

Mendengar sekaligus menyaksikan realita supir bis yang sangat dinamis ini bikin saya menyambung ingatan soal beberapa baju yang tergantung di bagasi bis. Tak jarang ada handuk dan perlengkapan mandi lengkap dengan gayung tersimpan di sana. Bahkan perlengkapan cuci pun tersedia.

“Ini gua besok udah cabut lagi, Dew. Kayaknya bawa rombongan ziarah ke Cirebon, tapi masih nggak tahu,” kata Erwin membuka obrolan dengan saya dalam perjalanan.

Kondisi seperti itu nampak sudah biasa. Hari ini di Bali, besok di Jakarta, malamnya di sudah dalam perjalanan ke Bali kembali dengan penumpang berbeda acap kali dialami para supir dan kenek. Bahkan, tak jarang pula mereka tak kembali sampai pool bis, tapi berhenti di rest area atau titik kilometer tertentu di jalan tol lalu menyebrang dan menunggu bis lainnya untuk mereka bawa. Itulah yang terjadi dalam perjalanan saya lalu. Saat berangkat dari titik poin di sekitar Gor Ciracas, supir di salah satu bis kurang. Dalam perjalanan jauh, supir bis lazimnya dua orang untuk saling bergantian mengendarai bis.

“Kita jemput supir yang satunya dulu ya di kilometer 94,” kata Erwin saat awal perjalanan.

Ternyata benar saja di kilometer 94 tol Cipularang, seorang pria naik. Itulah Abah yang baru pulang dari kota lain. Ia takut tidak sampai tepat waktu di pool bis lantaran informasi awal bis saya berangkat pagi hari. Padahal aslinya sore. Ia turun di sisi seberang tol dan menyebrang entah lewat mana. Tiba-tiba sudah hadir di rest area dan beristirahat sejenak sembari bersiap menunggu perjalanan berikutnya.

Abah, pria asli Ciwidey, Bandung bercerita kalau jadi supir atau kenek bis mesti tahan-tahan tidak pulang ke rumah. Keluarga juga mesti sabar dan paham kondisi profesi tersebut. “Harus rajin-rajin juga transfer uang haha,” tawa Abah. Namun, bagaimana pun katanya jangan terlalu kelamaan tidak pulang. Keluarga di rumah bukan hanya menunggu materi, tapi non materi berupa kehadiran di rumah untuk mengobati rasa rindu. “Uang mah memang bisa dicari terus, tapi istri dan anak kan juga butuh kita. Toh rezeki tos (sudah) diatur Tuhan.”

Ruang crew

Saya beberapa kali memang jadi tour leader bantu orang tua, tapi baru kali ini saya ikut makan di ruang khusus crew. Dari dulu memang sudah penasaran seperti apa dalam ruangan itu. Biasanya hanya terlihat orang-orang yang sedang bercengkrama sembari menghisap tembakau rokok. Akhirnya pemandangan lebih dari hal itu saya dapatkan langsung selama sekitar 4 hari.

Berbagai model ruang crew selama berhari-hari itu saya jajal. Mulai dari yang letaknya bersambungan dengan dapur, di sudut restoran, di lantai bawah semacam basement, sampai yang menarik berada di balkon. Khusus yang terakhir lokasinya ada di Semarang dengan pemandangan hijau diselingi perumaham warga. Pengalaman santap makan siang waktu itu begitu membekas sembari ngobrol ngalor ngidul dengan berbagai kawan supir dan kenek bis baru.

Berbeda dengan di Semarang, sebelumnya pada malam pertama saya dan rombongan singgah di sebuah rumah makan dalam tol Cikampek. Rumah makan dengan penanda jalan di mana-mana jauh belasan kilometer dari lokasinya itu memang jadi langganan para perusahaan travel untuk menjadi penyedia makan malam rombongan.

Dengan ragu saya berjalan menuju sebuah ruangan yang ditutupi tirai plastik bening. Di dinding atasnya tertulis “Ruang Makan Crew”. Ruangan itu kecil dan punya akses khusus langsung ke dapur. Terdiri dari tiga meja panjang untuk makan dan tiga meja lagi untuk hidangan disediakan pihak rumah makan. Sebelum saya tiba, sudah ada para supir dan kenek dua bis rombongan saya yang sedang makan. Mereka tampak lahap mengunyah daging ayam dan nasi sebagai asupan energi malam ini.

Di meja sudah tersedia beberapa pilihan lauk. Ada ayam goreng, tumis kangkung, tempe tahu, dan sayur. Tak lupa sebakul nasi di tiap meja pun hadir.

“Mbak mau minum apa? Mau jus strawberry?” kata seorang pelayan kepada saya.

Agak ragu sih. Pasalnya takut-takut mesti bayar lebih lagi. Akhirnya malam itu saya putuskan untuk memesan es jeruk sebagai penghilang dahaga. Rupanya semua yang dipesan gratis, baik oleh supir, kenek bis, maupun tour leader. Menurut papa, ini lantaran mereka sudah membawa pelanggan yang banyak ke restoran. Semacam balas jasa.

Mendengar papa bercerita soal makan gratis para crew mengingatkan saya soal hari-hari lainnya saat singgah makan di berbagai restoran. Beraneka menu tersaji lengkap. Bahkan soal minuman pun cukup bervariatif. Minuman wajib yang selalu ada ialah air putih, teh, dan kopi. Ada juga variasi minuman lain memang sudah tersedia, contohnya es jeruk, soda gembira, dan jus .Beberapa pramusaji di restoran-restoran tertentu tak sungkan bertanya langsung kepada saya dan crew perjalanan lain soal minum tambahan.

Soal makanan sudah pasti pilihan menu lebih banyak. Umumnya sih ayam, baik digoreng biasa, dikecap-in, dibakar, dan berbagai olahan dari tahu serta tempe. Selain itu, pernah pula ikan fillet tepung goreng, cumi, dan udang. Soal sayur mayur pun wajib ada. Contohnya tumis kangkung, capcay, dan sayur berkuah denganberbagai isi. Kerupuk juga tak lupa jadi teman makan hampir di tiap restoran. Semua bebas tambah dan ambil sebanyak apa pun. Menu makanan ini bahkan lebih mewah dan banyak ketimbang para peserta tur.

“Paling enak tuh di Cipali, Neng. Ada sop iga,” kata Abah.

Penasaran sekaligus ngiler membayangkan sop iga masuk ke perut. Apalagi setelah berhari-hari ini kebanyakan makan ayam. Rasanya sop iga bisa jadi salah satu penutup yang indah dalam perjalanan kuliner di ruang crew ini.

Sekitar pukul 19.00 bis berhenti di salah satu restoran di sebuah rest area tol Cipali. Para peserta yang merupakan anak SMK berhamburan keluar tidak sabar menyantap hidangan. Saya pun demikian lantaran perut sudah meronta ingin diberi asupan makanan. Meluncurlah saya seorang diri ke ruang crew. Di sana sudah ada dua supir dan kenek di bis saya yang telah makan lebih dulu. Samar-samar terlihat potongan daging hadir di sebuah mangkok. Sepiring nasi pun jadi teman sop iga makan pada malam itu.

Tak menunggu waktu lagi, saya bergegas memesan sop iga layaknya para crew pendahulu saya. Agak janggal awalnya lantaran sop iga dan berbagai hidangan lain tidak tersedia langsung di ruang crew. Saya perlu ambil langsung di tempat lain untuk nasi dan lauk pauk, sedangkan sop iga akan diantar langsung ke ruangan setelah dipesan.

Setelah suap demi suap saya kunyah daging yang lembut dengan kuah panas sop iga, penutup perjalanan kuliner di ruang crew saya ini ternyata tak seindah yang dibayangkan. Sop iganya kurang gurih, meski pun pada akhirnya tetap saya habiskan sampai bersih.

Ternyata begini makan dari satu ruang crew ke ruang crew lainnya. Tiap hari mesti “dipaksa” makan teratur 3x sehari dalam perjalanan. Perut kenyang dengan beragam asupan bergizi dan komplit.

Berbincang dengan para supir dan kenek bis kali ini bikin saya banyak dapat hal, tak terkecuali soal pengalaman mereka membawa berbagai macam peserta. Mulai dari bocah-bocah TK sampai para lansia. Semua punya kekhasannya masing-masing diserta cerita pengalaman yang kadang nyeleneh atau bikin mereka mengelus dada menahan emosi.

Dalam perjalanan kali ini khususnya para supir di bis satu mesti sabar lantaran para guru sungguh galak bukan kepalang. Sebentar-sebentar sudah memarahi para siswanya yang ramai karena mengobrol atau mendengarkan musik keras. Lucunya, para siswanya cukup memberontak dan tak kapo dimarahi. Supir dan kenek bis saya pun cerita kalau mereka beberapa hari itu dicurhati para penumpangnya lantaran sering dilarang bernyanyi dan joget di atas bis. Ya, supir dan kenek bis pun saya sebagai tour leader sulit berbuat banyak selain dengan cara halus dan tersirat soal membiarkan para siswa bersenang-senang melupakan penatnya kehidupan sekolah.

“Gua pernah ya, Wi bawa anak pesantren. Dari awal bis masih di pesantren sampai balik lagi musik full kenceng. Ya mereka kayak kuda lepas gitu,” cerita Erwin.
“Ya kita mah ngertiin aja. Mereka kan pengen hiburan. Mungkin selama ini stres,” sambung Abah.

Perjalanan memang bisa jadi salah satu penghilang stres dan hiburan. Termasuk bagi para pengantar perjalanan saya kali ini yang dapat kesempatan untuk ikut berwisata susur Goa Pindul.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet