Pojok Kamyun di Pasar Jatinegara

Dewi Rachmanita Syiam
4 min readSep 30, 2019

--

Namanya Kamyun. Usianya sudah lebih dari setengah abad. Dan lebih dari separuh usianya itu ia habiskan untuk berdagang di Pasar Jatinegara. Bergonta-ganti lapak dagang selama bertahun-tahun, sekarang Kamyun menempati salah sudut lantai dasar pasar di antara berbagai gerai suvenir pernikahan. Ia menjadi saksi berbagai perubahan di Pasar Jatinegara dari hari ke hari.

Saya dan ibu pesan es jeruk sembari melirik kue-kue pasar yang dijajakan di meja perak. Perawakan lapak dagang Kamyun seperti warkop. Kami para pengunjung duduk menghadap “dapur” yang seadanya. Interiornya disesaki botol-botol air kemasan yang berjejer di rak putih. Juga nampan-nampan stainless steel yang jadi wadah jajanan pasar serta perlengkapan khas dapur lain yang dominan warna silver.

Kamyun nggak hanya bergonta-ganti lokasi dagang, barang yang dijajakan pun terus berubah. Dan kali ini, di lapak milik kakaknya itu ia menjual berbagai minuman sederhana bersama kue pasar yang setiap hari hanya ia produksi tak lebih dari 30 bungkus.

Hari itu Kamyun bikin kue mangkok cokelat, martabak telor, dan ongol-ongol. Ketiganya sudah ditata rapi dan tersimpan dalam wadah plastik di atas nampan. Awalnya saya tak tertarik untuk beli, tapi setelah diberi tester kue mangkok yang benar-benar fresh masih dalam cetakan, saya langsung kepincut beli beberapa bungkus untuk dimakan langsung maupun dibawa pulang. Homemade sekali rasanya. Hangat dan lembut dengan rasa manis serta tingkat kematangan yang pas.

Kata perempuan yang tinggal di Kampung Melayu itu, ia sudah jadi saksi berbagai hal terjadi di Pasar Jatinegara. Dari mulai dulu masih begitu banyaknya preman berseliweran suka nongkrong, kebakaran pada 2007, berbagai orang rebutan berjualan di Pasar Jatinegara, hingga kini semua telah berubah dalam banyak hal. Termasuk soal makin banyaknya toko-toko tutup tak ada yang minat mengisi untuk berjualan.

Selama kurang dari 30 menit, sembari menunggu kuli angkut yang akan membawa ratusan suvenir untuk pernikahan kakak, saya anteng dengar cerita Kamyun tentang Pasar Jatinegara.

Kebakaran 2007

“Tuh toko depan, udah berapa tahun itu kosong. Nggak ada yang mau isi. Sewanya kemahalan kayaknya sih.”

Kamyun cerita, makin hari memang makin sulit untuk bisa menutup biaya sewa toko. Belum lagi biaya bulanan yang membengkak akibat segala tetek bengek “tarikan” operasional. Ia beruntung, sebab tak perlu lagi pusing tujuh keliling biar uang menutup biaya sewa, sebab lapaknya sudah hak milik sang kakak.

“Dulu tuh orang pada rebutan mau dagang. Tapi, semenjak kebakaran, wah orang udah pada nggak mau. Pada abis juga rugi. Orang juga kadang cepat tutup sekarang baru berapa bulan jualan,” lanjut Kamyun.

Kebakaran Pasar Jatinegara tahun 2007 minim informasi — senggaknya di internet. Saya hanya menemukan dua informasi, satu dari Wikipedia tanpa pranala lebih lanjut dan sebuah tulisan di Detik. Dengan keterbatasan informasi itu, saya jadi tahu kalau kebakaran melanda Toko Kuda Mas yang jual berbagai peralatan tulis dan buku serta retoran masakan Cina. Keduanya berada di bagian depan pasar dan kegiatan pasar sempat terhenti.

Bagi Kamyun, kebakaran itu memang berdampak terhadap geliat Pasar Jatinegara. Nggak sedikit orang mesti gulung tikar karena toko jadi sepi.

Pasar Jatinegara yang berada di Jakarta Timur sendiri dulunya bernama Pasar Masteer (Passer). Disebut pula sebagai Pasar Kamis — buka setiap Kamis. Daerah Jatinegara memang sudah terkenal sebagai Meester Cornelis yang wilayahnya mencakup sampai Cikarang. Ia terus hidup dan jadi sejarah dari masa ke masa, mulai dari masa kolonial Belanda dan lekat dengan si tuan tanah dan guru asal timur Indonesia — Meester Cornelis, pendudukan Jepang dan mulai berganti nama menjadi “Jatinegara” yang disinyalir berarti “negara sejati”, sampai sebagai salah satu tujuan penjarahan 1998.

“Sekarang sebenarnya udah lebih tertata rapi, udah nggak ada lagi yang nongkrong-nongkrong gimana,” tutur Kamyun sembari membungkus ongol-ongol dari panci untuk pengunjung yang baru datang. Dan saya lekas bersiap pergi. Kuli panggul telah datang dan siap membawa satu kardus besar di punggungnya.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet