Potong Rambut

Dewi Rachmanita Syiam
2 min readMar 8, 2020

--

Dua hari ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Paling kemarin ke UI untuk ikut ujian suatu kursus yang sudah beberapa bulan ini saya jadikan rutinitas baru. Sisanya saya merebahkan diri di kasur berlapis sprei biru model terbaru – dengan karet di tiap sudutnya agar tak mudah terlepas. Juga baca buku, baik yang tiap halamannya bisa saya raba secara langsung, maupun lewat gawai. Saya selipkan pula pekerjaan yang harus selesai sebelum Senen datang.

Lalu, sore ini sekitar pukul 16 ibu datang ke muka pintu kamar saya yang dipenuhi stiker sejak puluhan tahun lalu hasil “warisan” dari kakak-kakak.

“Wi, sini deh,” katanya sambil berlalu menuju arah depan rumah.

Walah. Ada apa nih. Disuruh apa lagi nih saya… disuruh bongkar lemari kah? Atau saya disuruh ngetik soal lagi dan lagi seperti biasa dari tulisannya yang kadang bikin saya berpikir lama apa bacanya toh ini soal.

Ternyata permintaannya kali ini cukup mengejutkan saya: potong rambut.

Saya disuruh potong rambut ibu.

Ibu berdiri di depan cermin berbingkai warna emas yang dulu saya taruh di kos lama. Berbalut tunik oranye berbahan chiffon, ibu membolak balikkan tubuhnya di depan cermin sambil menggerai rambutnya yang sudah sepunggung. Di tangannya yang mulai menampakkan keriput karena usia gunting digenggam. Ia berkali-kali menyisir rambutnya dengan sisir hijau muda sebelum memberi gunting ke saya, seperti menampakkan kekhawatiran akan keputusannya merelakan rambut menjuntai itu harus dipangkas anakn yang tak ada pengalaman mencukur rambut ini.

Ini kali pertama saya “beratraksi” motong rambut orang lain.

Dengan ragu saya mulai menggerakkan gunting ke rambut ibu. Saya bagi beberapa bagian rambutnya. Bagian bawah, bagian atas, samping kanan, samping kiri berusaha meratakan panjangnya. Bunyi gunting yang khas saat memotong sesuatu memecah keheningan. Ibu diam. Pun juga saya.

Banyak helai-helai rambutnya yang rapuh itu rontok di sela-sela jari saya. Sisanya berjatuhan di lantai dan menumpuk menjadi pekerjaan rumah nantinya untuk disapu.

Seketika saya tersadar, saya seperti kian luput dalam hal sederhana. Sesederhana rambut ibu yang kian memutih dan menipis.

Benar memang kata psikolog saya dulu yang nampaknya harus saya temui lagi segera: belajar grounding dan nggak usah pusing atau mikirin yang jauh-jauh terus capek.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet