Refleksi dari Kabar Duka
Seminggu ini saya beberapa kali mendapat duka, orang meninggal. Ada lagi pengajian 40 hari meninggalnya seorang ibu sahabat keluarga. Mendengar berbagai kabar duka ini bikin saya sangat berefleksi, bahkan sampai-sampai mesti menahan isak tangis.
Seorang ibu dari guru saya meninggal. Saya melayat ke rumahnya bersama ibu saya. Awalnya tidak terpikir aneh-aneh, sampai-sampai melihat orang sibuk bersiap memandikan jenazah.
Ingatan saya terlempar ke pelajaran agama waktu sekolah dulu. Soal memandikan jenazah yang mesti mukhrimnya. Saya sebagai anak perempuan berkewajiban nantinya memandikan jenazah almarhumah ibu.
Saya jadi berefleksi. Apa saya sudah benar-benar siap memandikan jenazah almarhumah ibu saya kelak? Apa saya sudah paham dengan benar tata caranya? Apakah ada bacaan doa yang saya lupa?
Almarhumah ibu guru saya sendiri akan dimandikan di garasi rumahnya. Kebetulan ada pintu penutupnya dengan keran di luar yang bisa jadi aliran air lewat selang.
Saya jadi berefleksi lagi. Di mana kelak nantinya jenazah saya atau keluarga saya nanti dimandikan? Di bagian mana rumah saya yang memungkinkan? Yang leluasa, punya akses air, dan punya akses pembuangan air yang baik pula.
Saya bertemu guru saya. Memeluknya sebagai bentuk bela sungkawa. Setelah menyalami para pelayat yang hadir, guru saya lalu pergi menyiapkan banyak hal.
Saya kembali berefleksi. Saya anak perempuan tertua di keluarga. Saya lah yang sudah seharusnya bertanggung jawab dan mampu memanage semua hal nantinya bersama kakak-kakak laki-laki saya. Apakah saya sudah cukup siap menyiapkan ini itu terkait pemakaman? Terkait pengajian? Terkait para pelayat? Apa saya sudah cukup kuat dan tegar nantinya untuk tidak nangis? Untuk lebih memilih membohongi sejenak soal kehilangan dan berusaha persiapkan tenda, kursi, minum, kain kafan, dan lainnya?
Apakah saya sudah siap mengabari sanak saudara rekan dan kenalan tentang kabar duka? Menjawab berbagai pertanyaan mereka? Juga berusaha terlihat tegar di depan mereka?
Apakah saya sudah siap menyelenggarakan pengajian 7 harian, 40 harian? Cetak yasin dan ini itu?
Apakah saya sudah siap dengan kehilangan sosok-sosok terpenting di hidup saya? Apakah saya sudah siap menggantikan peran mereka, khususnya ke adik saya?
Saya menangis di Go-Jek berefleksi tentang kabar duka. Mempertanyakan diri sendiri soal tataran ilmu agama, juga soal mental seorang dewasa. Saya masih begitu dangkal, juga kekanak-kanakan.
Padahal, kematian itu sewaktu-waktu bisa datang sesuai kehendak-Nya.