Sendiri

Dewi Rachmanita Syiam
3 min readMay 27, 2018

--

Malam ini saya dihubungin seorang teman. Katanya ia dan beberapa teman lain yang juga saya kenal sedang buat media. Isi bahasannya soal film. Ia meminta saya jikalau senggang menulis di medianya.

Sapaannya di aplikasi pesan Line itu memantik perasaan sekaligus pemikiran saya. Rasanya ingin membangun media dengan rekanan yang satu visi seperti itu. Ya, nggak usah media langsung besar. Merintislah kurang lebih gitu. Tapi, saya jadi mikir, siapa sih teman dengan banyak hal yang pas dan sevisi dengan saya untuk hal itu? Khususnya soal minat. Kalau ada beda kampus atau ada banyak kesibukan. Perlu pemikiran keras.

Tahun lalu saya beranikan diri mendaftar suatu program volunteer ke Maluku. Saya tidak ingat pasti dari mana awal mula dapat informasi program itu. Pokoknya saya harus daftar. Pikir saya kekeh waktu itu. Sempat terbesit, ini teman gue nggak ada yang mau ikut apa ya. Pasti mereka lebih milih magang, ketimbang harus merelakan waktunya jauh-jauh ke Maluku dan malah bikin molor perkuliahan. Mungkin juga nggak minat. Puji syukur saya lolos dan berangkat ke Maluku. Sendiri tanpa teman yang sudah kenal sebelumnya.

Jauh sebelum itu, sewaktu masih di akhir masa SMA dan mesti memilih universitas untuk seleksi jalur SNMPTN, saya galau. Selama SMA saya sudah semacam kepedean, nongkrong-nongkrong di Fisip UI berharap menjelang pasti bakal jadi mahasiswa di sana. Pada akhirnya saya memilih merantau sendiri ke tanah Sunda, tanpa ada teman dekat. Para sahabat umumnya pilih kampus di Jakarta. Masa perkuliahan, khususnya soal pertemanan saya mulai lagi dari 0.

Soal musik tak kalah beda. Sejak SMP minat saya di ranah hip hop, lalu bergeser ke elektronik. Makin hari musik itu saya gandrungi di saat teman-teman lain dominan demen musik pop atau folk. Clubbing atau raving tanpa teman satu sekolah, tapi kawan lain lintas usia. Ngobrol ya di circle lain, khususnya dengan internet friends. Nggak jarang ada yang menganggap sebelah mata saya yang suka musik elektronik itu. Yaudah nggak apa-apa.

Beberapa contoh kasus itu terngiang-ngiang di benak saya. Ternyata banyak juga langkah-langkah yang saya ambil meskipun sendiri sampai ujung perkuliahan ini. Namun, banyak juga langkah yang gagal saya pilih lantaran masih ada ketakutan tidak ada orang yang dikenal memilih hal yang sama. Ingin rasanya terus-terusan menegur dan menampar diri. Mengapa harus memikirkan orang lain? Tiap orang punya minat, pilihan, dan mimpinya masing-masing. Beranilah mengejar punyamu sendiri, tanpa embel-embel atau diseret keinginan orang lain yang malah merubah haluanmu. Lo tuh beda. Masalah di belakangnya beda. Experience dan knowledge-nya juga beda. Kenapa harus apa-apa sama-sama terus?

Mungkin saya masih takut dan khawatir untuk beberapa hal. Banyak juga karena perasaan nggak enak ke teman. Atas nama solidaritas? Atau takut kehilangan? Yap, kadang saya memang lebih memilih sendiri untuk beberapa hal. Biar tidak ribet, hal itu terealisasikan, tidak ada drama-drama berkepanjangan yang merusak hubungan pertemanan, dll.

Kadang suka sebel sih, kalau lagi pengen nonton bioskop atau nugas di coffee shop sendirian suka agak digimanain gitu. Paling umum ditanyain orang nggak punya pacar ya? Apakah itu indikator pasti juga kalau saya tidak punya teman?

Semoga diri ini lebih berani lagi memilih hal sesuai keinginan, meskipun di arus yang berbeda dari kawan terdekat atau kebanyakan orang.

“Hanya masalah waktu, pembuktian, prestasi sampai tiba waktunya pengakuan.” — Seorang netizen di Twitter.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet