Tasik dalam Sekejap

Dewi Rachmanita Syiam
7 min readFeb 19, 2017

--

Berangan-angan santai di pantai daerah Banyuwangi atau menyaksikan karapan sapi di Madura sirna dalam penghujung liburan semester lima ini. Lantas dalam sekejap saya putuskan pergi sendiri ke kota santri, Tasikmalaya menjelang perkuliahan. Dua hari satu malam menyusuri wilayah itu bersama Rere, kawan Jurnal yang jago karate.

Sedari masih Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Ciasih, Kuningan, saya sudah berandai-andai sisa liburan ini akan dihabiskan ke mana. Beragam destinasi dan kawan sudah menunggu saya datangi. Mulai dari Banyuwangi, Yogyakarta, Surabaya, hingga Madura. Selesai KKN yang bernilai tiga SKS tersebut hanya sekitar satu minggu sebelum kembali ke rutinitas perkuliahan. Apa cukup, ya, ke tempat-tempat itu? Lebih tepatnya apa nantinya saya cukup puas?

Penasaran

Banyak berpikir akhirnya tidak ke mana-mana dan berujung beres-beres kamar kos. Pagi-pagi bosan dan terngiang obrolan dengan teman-teman yang berasal dari Tasik tentang kenikmatan baso di sana. Penasaran.

Berawal dari penasaran dengan baso khas Tasik, sekitar pukul 9 pagi lantas saya menghubungi Rere, kawan di Jurnal yang tinggal di Tasik. Dadakan. Iya, semua serba dadakan pergi ke Tasik. Pukul 11 berangkat dari kos menuju Tasik dengan bis Primajasa. Saat itu saya tidak bawa banyak barang, hanya jaket, dompet alat mandi, dompet, power bank dan perkabelan, serta action cam. Senekat dan dadakan serta sesantai itu. Dalam sekejap saya memutuskan pergi ke Tasik.

Bagi saya, perjalanan ke Tasik singkat dan menyenangkan. Saya menikmati perjalanan sembari makan basreng cabe hijau yang dibeli di Gerlam. Jalan dari Jatinangor ke Tasik berkelok-kelok dan mungkin memusingkan. Beberapa waktu saya juga sempat terlelap dalam sepinya bis. Celingak-celinguk baru saya lakukan saat memasuki wilayah Tasik, takut-takut meeting point saya dengan Rere kelewat.

Keluarga rock n roll

“Nginep, kan?”

Itulah sepenggal ucapan Rere saat menjemput saya di depan kantor Kejaksaan Kota Tasikmalaya pada 10 Februari lalu. Ditanya hal itu saya iyakan saja. Sebenarnya baju lebih saja tidak bawa. Perlengkapan lain juga ternyata tertinggal. Sekali lagi, nekat dan santai. Ujung-ujungnya beli baju ganti!

Selama di Tasik, saya numpang tidur dan kebutuhan lain seperti mandi di rumah Rere. Saat datang sudah disambut hangat dengan keluarganya. Kesan pertama saya saat bertemu keluarga Rere: Rere banget! Cerminan Rere yang selama ini saya kenal, mulai dari gaya, obrolan, dll. Hal yang dapat mendeskripsikan itu semua bahkan terlontar dari ibunya Rere sendiri:

Ya keluarga ini mah rock n roll”

Keluarga santai dan hangat penuh wawasan. Setidaknya itu yang saya lihat di keluarga Rere, terutama dari ayahnya Rere. Malam hari cerita banyak hal tentang ini itu. Tipikal orang yang senang cerita dan berbagi. Tak segan-segan baik dari ayahnya atau ibunya Rere merekomendasikan banyak hal di Tasik, termasuk pergi ke Gunung Galunggung. Terima kasih, keluarga rock n roll dari Tasik!

Galunggung

Pada 1982, Gunung Galunggung dikabarkan erupsi besar. Ya, setidaknya itulah yang saya tahu tentang gunung itu. Sebenarnya awalnya saya tidak tahu kalau ternyata gunung yang ternyata cukup mistis itu berada di Tasik. Akhirnya gunung itu menjadi salah satu destinasi saya selama di kota santri itu.

Pergi ke Gunung Galunggung sebenarnya tidak begitu terencana. Saya dan Rere menyelipkan berkunjung ke sana setelah renang di salah satu hotel di Tasik. Namun, aktivitas renang itu dibatalkan dan sedari pagi sudah bersiap ke Galunggung. Tidak hanya berdua, kali ini pergi ke gunung tersebut bersama dua sahabat Rere. Berangkat sekitar pukul 10 dengan berkendara motor, kami pergi menyusuri jalan yang berkelok dan menanjak demi melihat kawah Galunggung.

Sepanjang perjalanan rasa sejuk yang saya rasakan. Kanan-kiri terhampar sawah dan empang. Memasuki kawasan Galunggung mulai hutan menghiasi pinggir jalan yang berkelok serta agak kurang mulus. Sesekali kami melewati rombongan lain, seperti kawanan anak-anak berseragam pramuka dan olahraga dengan muka lelah mendaki jalan. Lalu dalam sekejap sudah sampai di tempat parkir.

620 anak tangga mesti saya naiki demi sampai puncak dan melihat keindahan yang lebih utuh. Belum sampai puncak saja pemandangannya sudah luar biasa. Suasana juga semakin sejuk karena pepohonan di sekitar dan semilir angin yang berhembus. Rasa lelah tidak terlalu terasa karena kenikmatan perjalanan sekejap ini. Bisa dibilang dalam sekejap pula sudah sampai di puncak, walaupun beberapa kali sempat beristirahat saat menaiki anak tangga tersebut. Hitungannya untuk ke puncak mungkin ini singkat dan santai. Ya, mungkin seperti ke Bromo.

Sesampainya di puncak Gunung Galunggung itu saya dan kawanan disambut jajakan pedagang dengan tenda dan tempat duduk dari bambu. Umumnya mereka berjualan yang hangat-hangat, seperti kopi, mi instan, dan gorengan. Duduk beberapa orang di tiap-tiap warung sembari menikmati keindahan dari puncak. Begitu pula saya setelah berfoto bersama Rere dan sahabat-sahabatnya itu.

Dari puncak itu terlihat kawah yang hijau. Sebenarnya bisa saja turun ke kawah dan berenang, tapi mungkin lain kali. Ke sana ke mari mencari spot untuk foto dan menikmati alam. Tak hanya pemandangan kawah Gunung Galunggung, dari atas itu juga dapat melihat Kota Tasik. Saya yakini pasti indah sekali kalau sore atau malam karena cahaya lampu.

Makanan yang dirindukan

Hal yang akan paling saya rindukan dari Tasik adalah makanannya. Benar-benar juara luar biasa mantap. Makananya aneh-aneh, atau setidaknya bagi saya yang berasal dari Jakarta sih begitu. Jajanannya nagih semua. Murah meriah sedap dilahap.

Beragam jajajan unik menggiurkan itu umumnya berasal dari aci. Favorit saya adalah Cibay alias Aci Ngambay yang saya beli di dekat salah satu SMA Tasik. Cibay itu berupa adonan aci yang dibungkus dengan kulit lumpia lantas digoreng. Setelahnya dibumbui dengan MSG dan Aida alias cabe bubuk. Olahan lain ialah cimol, cilok, dll. Ada makanan olahan aci lain yang menjadi bekal saya dalam perjalanan pulang ke Jatinangor, yakni Cigor alias Cilok Goreng bumbu sambal hijau jeruk. Pedas, tapi nagih. Lagi, dalam sekejap beragam jajanan dari aci itu habis saya lahap.

Ngga sempet foto Cibay :(

Tak hanya jajajan dari aci saja yang akan saya rindukan. Keutaman pergi ke Tasik karena penasaran baso pun demikian. Memang benar kata orang, baso di Tasik rasanya beda. Katanya sih gara-gara saus bawangnya. Ya benar juga. Namun, memang benar basonya nagih dan beda! Asli, merindu dengan baso khas Tasik. Sekali menyantap baso di Tasik tak puas rasanya. Setiap gang pasti ada tukang baso, entah itu di warung kecil atau di toko besar. Heran saya, dengan banyaknya penjual baso tersebut tidak ada tempat baso yang sepi. Semua pasti ada pengunjungnya. Semua orang nampaknya suka baso di Tasik.

Baso-baso di Tasik punya beragam varian unik dan kekhasannya masing-masing. Pertama datang ke Tasik itu saya diajak Rere ke Baso Nana. Kekhasan dari tempat baso ini adalah adanya babat dalam penyajiannya. Ada momen lucu dalam makan di Baso Nana ini karena mendapat nomor telepon genggam penjualnya. Sempat saja ya itu penjual menulis nomor handphone-nya di kertas dan menyelipkannya di uang kembalian saat saya dan Rere akan pergi.

Foto: Instagram @Kuliner_Tasik

Tempat baso yang juara menurut saya Baso Firman. Di sana khasnya adalah baso uratnya. Memang sih, mantap banget. Mau lagi mau lagi terus rasanya. Tempatnya juga besar dan nampaknya yang datang dari beragam kalangan. Mulai dari pelajar hingga orang-orang bermobil mewah. Dalam sekejap ludes sudah baso seharga Rp17.000,00 seporsi itu.

Terlepas dari olahan aci dan basonya yang juara, ternyata Tasik juga menyimpan makanan lain yang tidak kalah menggiurkan. Mulai dari coklat lumer hingga ketan susu. Tak tanggung-tanggung, di Warung Ketan Susu saya memesan dua porsi. Satu ketan susu meses keju, satu lagi ketan susu mangga. Mungkin seperti sudah biasa olahan ketan ini. Namun, hal yang menarik adalah dari penyajian menunya dengan bahasa Sunda yang unik-unik semua. Bahkan Rere yang dari Tasik banyak tidak paham arti-arti menu tersebut. Katanya sih Warung Ketan Susu ini salah satu tempat gaul dan hits-nya Tasik. Jadi, sahlahya saya jadi barudak hits Tasik. Jangan lupakan juga makaroni khas Tasik yang cocok untuk camilan saat senggang.

Sekejap yang berarti

#JalanBarengDewi edisi Tasik ini memang sekejap bila dilihat dari kurun waktu. Walupun begitu, kunjungan ke Tasik ini memiliki pengalaman yang tak hanya sekejap dapat terlupa. Melalui #JalanBarengDewi ini saya dapat lebih kenal jauh dengan alam dan kawan jurnal ini: Rere.

Banyak kejadian menarik selama sekejap di Tasik ini. Seperti kaca mobil digedor-gedor orang gila, perjuangan Rere yang baru pertama isi air kabulator mobil saat hujan, keluh kesah di kamar Rere tentang belum siapnya kami menghadapi semester enam, hingga betis Rere yang ditempeli koyo selepas pulang dari Galunggung.

Tasik dalam sekejap penuh arti bagi saya. Mulai dari keliling Tasik naik mobil yang dikendarai Rere hingga pelajaran untuk selalu membawa baju ganti dalam #JalanBarengDewi. Walau hanya sekejap banyak cerita baru yang didapat. Banyak pula inspirasi baru yang pastinya tidak saya temui di tempat, orang, waktu, atau sekejap-sekejap lainnya.

Nuhun, Tasik!

--

--

Dewi Rachmanita Syiam
Dewi Rachmanita Syiam

Written by Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi

No responses yet