Thai Tea

Dewi Rachmanita Syiam
1 min readOct 6, 2020

--

“Boleh nggak kamu beliin aku jangan thai tea lagi. Aku lagi ngurangin banget yang manis-manis.”

Kemarin saya lagi cranky banget. Bawaannya sensi dan pengen terus ngomel nggak berenti dari pagi. Selain lagi stres-stresnya soal pandemi, capek, faktor kerjaan juga jadi momok menakutkan utama belakangan. Mana rame banget RUU Ciptakerja. Ke-cranky-an yang nggak saya pengen tapi mau gimana lagi dirasakan itu akhirnya kena ke orang lain: Mas.

Ujung-ujungnya cranky ke diri sendiri: Ya Allah, kenapa gua bisa sabar dan tahan sama ini orang?

Perkara dibeliin thai tea seliter aja udah senang. Auto ke boost good mood.

Dulu saat Ramadhan, beberapa gelas thai tea mendarat di rumah. Buat buka puasa katanya. Seiring berjalannya waktu thai tea kerap datang ke rumah via ojek online. Momen saat lagi saya bete atau lagi senang atau lagi capek atau hal-hal lain. Saking seringnya, orang rumah saya udah hapal kalau saya minum thai tea dari siapa – Mas.

Kelakuan Mas sering beliin thai tea saya taksir berawal dari cerita iseng soal minuman favorit. Saking sukanya dengan thai tea, saya sudah coba dari beberapa tempat kecuali asalnya langsung. Dulu bisa hampir tiap minggu minum thai tea. Sekarang? Nyaris nggak pernah kalau nggak dibeliin.

Saya pernah protes sebenarnya ke Mas jangan sering beliin thai tea karena sedang kurangi manis. Namun, rasanya pernyataan saya itu memang kontradiktif dengan realita. Saya tetap menyeruput habis teh kalau dibeliin. Dan tentu jadi makin happy habis menegak minuman oranye itu.

“Kamu kan sukanya thai tea. Jadi aku beliin thai tea.”

Di antara happy dan cranky minum Thai Tea.

--

--

Dewi Rachmanita Syiam

Tentang perjalanan, musik, dan cerita. Saya di Instagram: #JalanBarengDewi