Warkop Lain Sabtu Malam
Sesaat setelah keluar parkiran, motor matik itu tancap gas menyebrang jalan dan belok kanan. Lalu kian melaju menyusuri selatan Jakarta yang minim penerangan lampu jalan. Terus bergerak sampai memasuki kawasan Jawa Barat. Saya celingak-celinguk. Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang baru saya sadari jarang ada keberadaannya di sekitar rumah: warkop.
Dulu saya pernah tak sengaja makan malam bersama dosen legendaris nan killer. Itu kali pertama saya berbincang langsung dengan sosok yang kini begitu saya segani. Pernah pula saya santap semangkok Indomie goreng telur rebus tanpa sawi sambil bercakap-cakap bahasa Sunda dengan aa-aa asal Sumedang sebelum interview kerja. Bercerita tentang Jatinangor yang selalu bikin rindu.
Dan malam ini, warkop kembali bawa kenangan sederhana yang manis. Menambah deretan cerita membekas tentang warkop.
“Nduk, itu aja gimana?”
Motor berhenti, putar arah. Saya turun motor lalu menyebrang jalan. Atur ponsel. Ambil gambar. Kembali menyeberang jalan dan naik motor. Kami dalam perjalanan pulang.
Sekitar 30 menit sebelumnya kami telah berputar-putar sekitar rumah mencari warkop yang pas. Menembus jalan tikus yang jadi alternatif bila Cinere Raya macetnya bikin istighfar, berbelok di perempatan Gandul, sampai kembali ke rute awal. Memperpanjang waktu bersama pada Sabtu malam untuk mencari bahan sampul podkes yang berisi celotehan — curhatan — bapak-bapak 30an.
Di belokan terakhir menuju rumah, kami kembali sempatkan diri untuk berhenti. Saya abadikan warkop di sudut jalan yang sedang sepi pengunjung, sementara Mas masih di motor.
Rumah saya di depan mata.
Saya sudah di rumah.